SELALU CERIA..................
SHOLEH,JUJUR,CERDAS,KREATIF DAN BERAKHLAK ISLAMI

PROFIL

Sabtu, 23 Oktober 2010

Pendidikan Karakter: Apa Lagi?

Pendidikan karakter! Dua kata ini, sejak 2009 seolah menjadi primadona, khususnya dalam dunia pendidikan. Berbagai diskusi, seminar, ceramah, dan bedah buku dilakukan untuk membahas dua kata tersebut.

Maklum, belakangan, marak berbagai peristiwa yang mempertanyakan moral atau karakter bangsa Indonesia. Media TV nyaris tiap hari diserbu tayangan-tayangan kekerasan. Terbongkarnya manipulasi pajak seorang pegawai golongan rendah bernilai puluhan milyar rupiah membelalakkan mata banyak orang. Berita pelesiran sejumlah wakil rakyat “yang terhormat” dengan menghambur-hamburkan uang rakyat menambah perut rakyat semakin mules. Kasus video porno tiga orang artis terkenal dan maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja semakin membetot perhatian pelaku dan praktisi pendidikan.

Data tentang korupsi pejabat misalnya, dari hasil riset yang dilakukan dalam Transparency International Corruption Perceptions Index 2009, masih menempatkan Indonesia pada peringkat yang sangat memperihatinkan. Terkait dengan penyalahgunaan narkotika, Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2009 tercatat adanya 3,6 juta pengguna narkoba di Indonesia, dan 41% diantara mereka pertama kali mencoba narkoba di usia 16-18 tahun, yakni usia remaja SMP-SMU. (Republika online, 26/06/2009).


Apa yang salah dengan pendidikan kita?
Padahal, di atas kertas, tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 (UU Sisdiknas), sangatlah ideal: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Karena tidak “nyambung” antara cita dan fakta itu lalu sejumlah tokoh pendidikan dan pemerintah menggelorakan slogan besar: kita perlu Pendidikan Karakter! Dulu sudah pernah ada Pendidikan Moral Pancasila (PMP), ada Pendidikan Akhlak, Pendidikan Etika, Pendidikan Kewarganegaraan, dan sebagainya.
Lalu, apalagi “makhluk” yang bernama Pendidikan Karakter ini?

Pentingnya karakter
Sejak berabad silam para ahli dan pemikir telah menuangkan ide-ide mereka bagaimana mendidik manusia agar menjadi manusia yang sebenarnya, yaitu manusia yang baik. Barat mengembangkan nilai-nilai moral dan karakter yang berasal dari Yunani, sedangkan Islam mengajarkan manusia berakhlak mulia berdasarkan petunjuk wahyu, Al-Quran dan As-Sunnah. Akhlak atau karakter Islam terbentuk atas dasar prinsip “ketundukan, kepasrahan, dan kedamaian” sesuai dengan makna dasar dari kata Islam.

Islam bukan hanya teori, tapi ada contoh. Nabi Muhammad SAW menjadi contoh (uswah hasanah). Kata ‘Aisyah r.a, akhlak Rasulullah saw adalah al-Quran.

Para pemikir muslim sejak awal telah mengemukakan pentingnya pendidikan karakter. Ibn Miskawaih ((320-421H/932-1030 M), adalah ulama klasik yang mendalami filsafat etika sehingga dikenal sebagai Bapak Etika Islam. Dalam bukunya yang berjudul Tahdzib al-Akhlaq Ibn Miskawaih mengemukakan pentingnya dalam diri manusia menanamkan kualitas-kualitas akhlak dan melaksanakannya dalam tindakan-tindakan utama secara spontan. Menurutnya, akhlak adalah "keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu”. Ia menyebutkan adanya dua sifat yang menonjol dalam jiwa manusia, yaitu sifat buruk dari jiwa yang pengecut, sombong, dan penipu, dan sifat jiwa yang cerdas yaitu adil, pemberani, pemurah, sabar, benar, tawakal, dan kerja keras. (Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, Beirut: Dar el Kutb al-Taymiyyah, 1405H/1985M)

Al-Ghazali (1058-1111M) yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali memberikan kriteria terhadap akhlak yang mirip dengan Ibn Miskawaih, yaitu bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran yang mendalam atau penelitian terlebih dahulu. Akhlak bukan merupakan "perbuatan", bukan "kekuatan", bukan "ma'rifah" (mengetahui dengan mendalam). Yang lebih sepadan dengan akhlak itu adalah "hal" keadaan atau kondisi jiwa yang bersifat bathiniah".(Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid 2, Qairo, Mesir: Daar al-Taqwa, 2000, hlm.599)

Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang berarti to engrave atau mengukir. Membentuk karakter diibaratkan seperti mengukir di atas batu permata atau permukaan besi yang keras. Dari sanalah kemudian berkembang pengertian karakter yang diartikan sebagai tanda khusus atau pola perilaku (an individual’s pattern of behavior … his moral contitution) (Karen E. Bohlin, Deborah Farmer, Kevin Ryan, Building Character in School Resource Guide, San Fransisco: Jossey Bass, 2001, hlm.1)

Socrates (469-399 SM) menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang paling mendasar membentuk individu menjadi baik dan cerdas (good and smart). “Goodness is knowledge … to be good at something os a matter of knowledge". (G.M.A. Grube, Plato’s Thought , USA: Hackett Publishing Company, 1980, hlm. 216-217). Plato (428-348 SM), murid Socrates merefleksikan pemikiran gurunya untuk hal yang lebih makro dari sekedar kebajikan individu menjadi negarawan yang baik . Dalam bukunya yang terkenal, Republic, ia mengungkapkan idenya tentang pendidikan, bahwa agar anak dapat meraih kebenaran dan kebajikan diperlukan pedoman yang jelas moral agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan.

Aristoteles (384-322 SM), murid Plato juga mengarahkan pendidikan kepada kebajikan atau nilai (virtue) individu. Kebajikan atau nilai (virtue) itu mengandung dua aspek yaitu intelektual dan moral. “Intelectual virtue in the main owes both its birth and its growth to teaching, while moral virtue comes about as a result of habit.” (Charless Hummel, Aristotle, p.2).

Emile Durkheim (1858 –1917) seorang sosiolog dari Prancis mengatakan, bahwa masyarakat harus memiliki nilai-nilai yang baik sebagai kontribusi warisan moral. Lebih jauh ia mengatakan,“Society must have some good to achieve, an original contribution to bring to the moral patrimony of mankind. Idleness is a bad counselor for collectivities as well was individual. When individual activity does not know where to take hold, it turns against itself. When the moral forces of a society remain unemployed, when they are not engaged in some work to accomplish, they deviate from their moral sense and are used up in a morbid and harmful manner.”(Emile Durkheim, Moral Education, London: Free Press of Glencoe, 1973, p. 13)

Karakter atau kehancuran
Thomas Lickona seorang pendidik karakter dari Cortland University, dikenal sebagai Bapak Pendidikan Karakter Amerika. Ide-idenya diterapkan pada level pendidikan dasar dan mengengah. Lickona mengungkapkan, bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, jika memiliki sepuluh tanda-tanda zaman, yaitu, meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, membudayanya ketidak jujuran, sikap fanatik terhadap kelompok/peer group, rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, semakin kaburnya moral baik dan buruk, penggunaan bahasa yang memburuk, meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga negara, menurunnya etos kerja, dan adanya rasa saling curiga dan kurangnya kepedulian di antara sesama.(Thomas Lickona, Educating For Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility, New York:Bantam Books,1992 ,hlm 12-22).

Lickona mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral—yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan. Lebih jauh, Lickona menekankan tiga hal dalam mendidik karakter. Tiga hal itu dirumuskan dengan indah: knowing, loving, and acting the good. Menurutnya keberhasilan pendidikan karakter dimulai dengan pemahaman karakter yang baik, mencintainya, dan pelaksanaan atau peneladanan atas karakter baik itu.(Ibid, hlm.23).

Sebenarnya, secara materi, pendidikan karakter di sekolah-sekolah di Indonesia, sudah tercakup dalam pelajaran Pendidikan Agama dan sebagian pendidikan lainnya. Namun seperti halnya banyak mata pelajaran lainnya, mata ajaran itu masih lebih berorientasi pada pendekatan kognitif melalui hafalan dan ditujukan untuk perburuan nilai semata. Artinya pembelajaran masih berorientasi pada aspek perolehan pengetahuan semata secara akademik. Pendidikan dan pembelajaran terhadap proses perubahan tingkah laku anak didik masih terabaikan. Jika ini dibiarkan terus-menerus maka kesenjangan antara mengetahuan dan perilaku semakin melebar.

Written by Anita Syaharudin

Oleh karenanya diperlukan usaha yang serius untuk meninjau kembali antara teori pendidikan moral dan karakter yang diajarkan di sekolah, dan bagaimana praktek yang terjadi dalam keseharian siswa di sekolah. Teori, yaitu mencakup dimensi dan kurikulum pendidikan karakter apa saja yang diajarkan di sekolah, bagaimana kualifikasi atau kriteria pendidik yang semestinya, bagaimana hal tersebut diajarkan, bagaimana sistem penilaian keberhasilan pendidikan karakter tersebut. Lalu, lebih penting lagi, bagaimana praktek nyata dari teori-teori itu dalam bentuk perilaku guru dan siswa di sekolah.
Juga, yang terpenting, adalah keteladanan pemimpin dan guru. Guru harus bisa menjadi contoh. Jika guru gagal menjadi teladan, jangan heran, jika pepatah klasik berubah ekstrim: guru kencing berlari, murid bisa mengencingi gurunya.

Jika tiada kesungguhan keteladanan, maka Pendidikan Karakter hanya akan menjadi slogan dan menambah daftar panjang daftar kefrustrasian program pendidikan. Na’udzubillahi min dzalika

Kamis, 21 Oktober 2010

Islamisasi Kurikulum-2

Langkah-langkah mencapai Islamisasi Pengetahuan
Oleh Dr. Rosnani Hashim
Asisten Profesor pada Departemen Pendidikan di International Islamic University, Malaysia.
A. Menentukan Agenda
Langkah pertama islamisasi kurikulum yaitu memastikan bahwa sumber dari tujuan pendidikan diambil dari worldview Islam, yang meliputi sifat dasar pelajar, sifat dasar pengetahuan atau materi khusus, dan sesuai dengan kehidupan zamannya. Qur'an dan Sunnah harus dijadikan acuan dalam memahami sifat dasar pelajar dan ilmu pengetahuan, kemudian hasil penelitian empiris -terutama berkaitan dengan psikologi mata pelajaran dan pelajar, yang telah diterbitkan dan didokumentasikan yang berungsi sebagai pelengkap.
Langkah berikutnya adalah merumuskan suatu filsafat pendidikan yang jelas berdasar pada worldview Islam. Ini penting untuk dilakukan sebagai pemandu pendidikan bagi negara, pemimpin sekolah, para guru, orang tua dan siswa.
Tujuan yang jelas dan obyektif dari pendidikan harus dirinci. Yaitu berfungsi sebagai true North (utara yang sebenarnya) dari suatu kompas pendidikan dan sifatnya penting untuk menjamin bahwa keseluruhan pendidikan mengalami kemajuan dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan sehingga tidak mengembara ke mana-mana. Konsep hamba dan khalifah harus diterjemahkan ke dalam istilah-istilah operasional. Yang didalamnya mencakup kelanjutan kebijakan dan draf kurikulum yang dibuat sesuai dengan konsep penting ini. Hal ini berarti kurikulum pendidikan Islam tidak hanya ditujukan secara khusus untuk umat Islam, universitas Islam, pendidikan Islam, tetapi juga dapat diakomodasi oleh seluruh manusia.
Dalam semangat ini, Konferensi Dunia Islam tentang Pendidikan Muslim Pertama, sebaiknya mengusulkan suatu pernyataan yang jelas tentang filsafat Islam dalam bidang pendidikan dengan tujuan:
Untuk keseimbangan antara perkembangan kepribadian manusia yang utuh melalui pelatihan ruhani, akal, diri yang berakal, pikiran dan jasmani yang sehat. Pelatihan yang disampaikan kepada kaum Muslim harus betul-betul dilandasi iman yang ditanamkan ke dalam keseluruhan kepribadiannya sehingga membuatnya mencintai Islam dan memungkinkannya mengikuti Qur'an dan Sunnah. Dengan sepenuh hati mau diatur oleh nilai-nilai sistem Islam sehingga ia mulai dapat mewujudkan statusnya sebagai wakil Allah di bumi ini [1]
Langkah yang ketiga yaitu bahwa kurikulum universitas atau sekolah harus mencerminkan filsafat pendidikan, yang dalam praktenya tetap melalui mekanisme untuk meraih tujuannya. Secara khusus, hirarki ilmu pengetahuan (antara fardu 'an dan fardu kifayah) harus dipelihara di dalam kurikulum. Ilmu pengetahuan yang berasal dari wahyu yang berfungsi sebagai ruh harus disebarkan ke seluruh mata kuliah pada semua fakultas di universitas Muslim. Oleh karena itu, beberapa mata pelajaran ilmu pengetahuan yang berasal dari wahyu harus menjadi persyaratan kelulusan bagi semua siswa, tanpa mengabaikan spesialisasi mereka.
Pendekatan pengajaran ilmu pengetahuan ini di universitas seharusnya berbeda dengan di sekolah-sekolah, karena mahasiswa lebih dewasa, mampu merefleksikan dan berpikir. Dengan cara yang sama, beberapa mata pelajaran pengetahuan yang diperoleh dari belajar seperti ilmu pengetahuan alam, ilmu-ilmu sosial, dan humanisme harus diberikan kepada siswa, terlebih ilmu pengetahuan yang berasal dari wahyu. Sebuah kurikulum yang lebih terintregasi, tetapi masih memiliki sebuah inti (ilmu dari wahyu), harus diadopsi oleh sekolah-sekolah dan universitas sehingga permasalahan dualisme pendidikan secara berangsur-angsur terhapus.
Kurikulum yang terintregasi memungkinkan siswa secara bersamaan menguasai ilmu yang didapat dari wahyu dan ilmu yang didapat dari dalam sistem sekolah. Upaya ini bisa dilakukan dengan cara memperkenalkan bahasa Arab lebih awal dalam kurikulum formal, karena ia adalah bahasa universal dan bahasa umat Islam.
B. Isi dan metode
Ilmu pengetahuan, berbagai hal yang pokok, atau mata pelajaran yang ditawarkan di dalam kurikulum harus bebas dari unsur-unsur sekuler dan westernized sebagai unsur asing dalam Islam. Unsur-unsur tersebut -dualisme, humanisme, sekularisme -yang secara khusus milik Barat dan anti Islam, harus dibuang dari kurikulum kita lalu diganti dengan Islamic worldview yang bersifat tauhidi. Kurikulum itu harus memperkuat konsep-konsep Islam sebagai berikut:
1. Pandangan Islam tentang Penciptanya (tauhid, iman dan sifat-sifat Allah);
2. Penciptaan manusia dan tujuannya, yakni untuk menyembah Allah, untuk menjadi khalifah Nya, untuk mengajak kepada kebaikan dan melarang kejahatan, dan untuk menyebarkan ajaran islam.
3. Hubungan manusia dengan Penciptanya, yaitu kesadaran dari nya Allah, tanggung-jawab ke Allah, untuk berbuat baik perbuatan-perbuatan, menyembah dan memohon kepada-Nya;
4. Hubungan manusia dengan lainnya, untuk membangun keadilan, untuk memiliki rasa hormat seumur hidup, harta, dan martabat, untuk mengembangkan ahlaq dan untuk menunjukkan toleransi beragama.
5. Hubungan manusia dengan lingkungan yang menekankan perannya sebagai wakil Allah, yang akan bekerja bersama demi keselarasan dengan semua ciptaan Allah, dan untuk mengenali atau menemukan Allah melalui ciptaan-Nya;
6. Pengembangan diri, dengan menyiapkan tempat untuk intropeksi diri dan belajar dari kekeliruan-kekeliruan masa lampau;
7. Tujuan manusia, yang ,untuk memnunjukkan tanggung-jawab dengan mengevaluasi peran kita, memahami hari akhir dan dampak-dampak mereka.
8. Pengembangan etos Islam agar tercipta satu lingkungan yang bermanfaat untuk mempraktekkan Islam. [2]
Oleh karena itu, wajib bagi para guru Muslim untuk menanamkan konsep-konsep Islam sebagaimana disebut di atas kepada para siswanya, dengan mengenyampingkan sejenak materi pelajaran yang sedang mereka ajarkan.
Menanamkan konsep-konsep dan nilai-nilai ini secara tidak langsung melalui mata pelajaran, terutama pelajaran ilmu eksakta seperti matematika atau akuntansi, tidaklah mudah[3] Oleh karena itu, para guru harus menanamkan secara langsung dengan cara bijaksana, terutama saat situasi kelas memungkinkan. Tugas ini tidak harus dibebankan kepada guru agama Islam.
Guru dan bagian administrasi bidang pendidikan harus menyediakan pelajaran terapan, khusunya bagi pelajaran moral dan pengembangan rohani.
Metode-metode baru pengajaran harus dieksplor dan guru atau dosen harus inovatif dan kreatif. Pengajaran ilmu pengetahuan agama tidak boleh terlalu bergantung pada metoda-metoda tradisional, seperti penghafalan teks-teks klasik, meski pelajaran tertentu perlu dihafalkan. Para siswa harus diarahkan pada proses belajar, termasuk metode latihan dan pemecahan masalah bukan hanya pada hasil. Oleh karena itu, mereka perlu dibimbing untuk memiliki sikap kritis dan berfikir sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam Qur'an.
Ada sebuah keseimbangan yang harus ditemukan berkaitan dengan pendekatan siswa dengan mata pelajaran. Berkaitan dengan hal ini, pendekatan terhadap pendidikan guru yang selaras dengan filsafat pendidikan harus dikembangkan. Program pendidikan guru sebelum mengajar dan ketika mengajar- juga perlu dilakukan dalam rangka pengembangan kepribadian guru, khususnya berkaitan moral dan rohani, yang hampir terabaikan. Guru merupakan komponen paling penting dalam melakukan perubahan-perubahan di dalam pendidikan, dan mereka seharusnya mengetahui dan mampu melihat arah pendidikan yang baru. Program pendidikan guru sebelum bertugas nampaknya hanya ditekankan pada ketrampilan-ketrampilan berfikir dan pengusaaan teknologi informasi tetapi lemah dalam masalah esensi dasar pengembangan pendidikan dan kepribadian,yaitu moral dan spiritual [4]

C. Evaluasi Pendidikan
Evaluasi merupakan suatu cara yang sangat baik untuk menjelaskan sasaran pendidikan. Ia merupakan proses untuk mengenali seberapa jauh pelajaran mengalami perkembangan dan benar-benar termanage sehingga mendapatkan hasil yang diinginkan. Proses evaluasi diantaranya mengidentifikasi kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan dari perencanaan. (5]
Evaluasi merupakan proses untuk mengetahui tingkat perubahan mengenai tingkah laku yang terjadi sebenarnya [6] Oleh karena itu penting untuk membuang dugaan bahwa evaluasi hanya sekedar percobaan melalui "kertas dan pensil". Evaluasi juga merupakan suatu kekuatan motivasi untuk belajar. Para siswa dipengaruhi pada pelajaran mereka, dan para guru dipengaruhi dalam pengajaran mereka oleh jenis evaluasi yang diharapkan.
Sebagai konsekwensinya, kecuali jika prosedur evaluasi sejajar dengan tujuan kurikulum pendidikan, prosedur evaluasi itu dapat menjadi fokus perhatian siswa bahkan guru ketimbang rancangan tujuan kurikulum [7]
Hal ini benar, terutama berkenaan dengan tujuan moral dan rohani. Kita mengharapkan banyak perubahan dalam tingkah laku siswa, tetapi sayangnya, para siswa hanya sering mencetak prestasi dalam ujian tertulis tetapi tidak menunjukkan sikap moral yang diharapkan. Bila demikian, maka kurikulum harus ditinjau kembali berkaitan dengan pelajaran yang diberikan kepada mereka,berkaitan dengan metoda pengajaran, dan model aturan evaluasi.

[1] S. M. Naquib alAttas (ed), Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdulaziz University, 1979), 158-9. Italics added.
[2] Aku berhutang kepada orang yang mempersiapkan dan membagi-bagikan daftar ini selama Konferensi Dunia Yang Keenam di Pendidikan Islam di Kota Capetown, Selatan Afrika, 19-25 September 1996.
[3] See Rosnani Hashim, "Penyerapan Nilai Murni dalam KBSM" (The Inculcation of Moral Values in the Integrated Curriculum for Secondary Schools [KBSM]), paper presented at the National Seminar on Evaluation of the KBSM, Aminuddin Baki Institute, Layang Layang, Malaysia, 1997.
[4] Program pendidikan guru IIUM memberikan perhatian yang istimewa kepada dua hal tersebut yaitu kepribadian guru melalui program halaqah dan perkemahan ibadah. Di halaqah, para siswa diatur di dalam kelompok 10 dan masing-masing kelompok bertemu seminggu sedikitnya satu jam seperti yang dijadwalkan dalam kelas mereka untuk mendiskusikan topik-topik yang ditentukan dalam ilmu syariah dan kelompok konseling. Di dalam perkemahan ibadah, yang secara normal selama tiga hari di mana siswa mendengarkan ceramah, , mengambil bagian dalam workshop, melakukan shalat , membaca wirid malsurat dan membaca qur'an, kemudian shalat lail. Lihat Rosnani Hashim, The Relevance and Effectiveness of the IIUM Diploma in Education Programme as Perceived by Student Teachers in the 1994/95 Session, unpublished research report. See also M. Sahari Nordin and Rosnani Hashim, "Non-formal Curriculum Programme in IIUM Diploma in Education Programme," paper presented at National Seminar on Teacher Education, Faculty of Education, University Putra Malaysia, 1997.
[5] Ralph W. Tyler, The Curriculum - Then and Now, in Proceedings of the 1956 Invitational Conference on Testing Problems (Princeton, N.J.: Educational Testing Service, 1957), 79, quoted in Daniel Tanner and L. N. Tanner, Curriculum Development: Theory into Practice (New York: Macmillan Publishing Co, 1980), 103.
[6] Ibid., 106.
[7] Ibid., 124.

Islamisasi Kurikulum

Oleh Dr.Rosnani Hasyim
Asisten Profesor pada Departemen Pendidikan di International Islamic University, Malaysia.
Desain kurikulum secara fundamental tergantung pada filosofi pendidikan.
Tulisan ini didasari dua argumen penting yang menunjukkan bagaimana pentingnya desain kurikulum bagi ahlak dan kesejahetraan sosial seseorang maupun masyarakat. Setelah itu, tulisan ini menunjukkan bahwa desain kurikulum secara fundamental tergantung pada filosofi pendidikan. Tanpa filsafat pendidikan yang bisa memberi moral bagi perorangan maupun masyarakat, akan sulit mengidentifikasi unsur dasar yang dapat dijadikan sandaran desain kurikulum. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi elemen-elemen dasar dari sebuah filosofi dari pendidikan Islam dan daripadanya memperoleh inti masalah kurikulum pendidikan Islam. Karya ini juga membahas beberapa strategi untuk mengintegrasikan pengetahuan yang diungkapkan dan ilmu yang didapat dari universitas dan sekolah Islam.
Telah diakui oleh pendidik di seluruh dunia bahwa pelayanan pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu perorangan dan masyarakat. Melalui pendidikan yang baik, potensi seseorang yaitu fisik, intelektual, moral, spiritual, dan emosional, dapat diolah dan dikembangkan. Dalam hal ini, Socrates menunjuk seorang guru sebagai bidan karena perannya mengambil sesuatu yang sudah ada pada anak. Tentu saja, bagaimana selanjutnya sangat bergantung pada keterampilan dan kemampuan guru.
Pendidikan juga punya peranan penting lain, untuk memberi dan mengubah nilai-nilai budaya, dan warisan dari masyarakat tertentu. Pendidikan disebut hanya berperan secara konservatif jika hanya mentransfer nilai-nilai budaya dan kepercayaan dari satu ke generasi ke generasi berikutnya. Padahal juga bisa memainkan peranan yang lebih radikal ketika mencoba mereformasi masyarakat. Secara umum, pendidikan memainkan keduanya yaitu konservatif dan radikal dalam kemajuan peradaban.
Pendidikan adalah proses seumur hidup. Hadits Nabi Muhammad yang terkenal memerintahkan orang beriman untuk "mencari ilmu dari buaian ibu sampai liang lahat." Baru-baru ini, dunia medis modern telah menunjukkan bahwa seorang anak juga dapat menerima stimulus dari luar ketika masih berbentuk embrio. Dengan demikian, potensi belajar bisa dimulai dari beberapa bulan setelah pembuahan.
Pendidikan sendiri mempunyai tiga tipe: informal, formal dan nonformal. Rumah merupakan lembaga paling penting dari pendidikan informal. Di dalamnya, pelajaran berlangsung dalam satu cara yang tidak langsung dan tidak tersusun. Ini merupakan "sekolah" pertama, dan ibu adalah "guru." Sekolah merupakan lembaga pembelajaran penting untuk pendidikan formal. Di dalamnya, pengalaman belajar disusun secara sistematis dan terorganisir untuk mencapai hasil pembelajaran yang khusus. Pendidikan formal, kurikulum sekolah dan guru sekolah sangat penting sebagai fasilitator pembelajaran. Selanjutnya, pembelajaran nonformal, yaitu pendidikan melalui lembaga atau organisasi lain selain sekolah formal, misalnya kelas-kelas melek huruf bagi orang dewasa.
Pendidikan mencakup berbagai masalah. Karena itu, tidak mengherankan jika umat Islam telah konsisten dingatkan oleh para ulama bahwa persoalan pendidikan meruapakan hal yang mendasar. Sebagain ulama punya alasan bahwa sebagai sebuah disiplin, pendidikan terdiri dari lima subdisiplin, yaitu kurikulum, konseling, manajemen, pengajaran, dan evaluasi (1). Artikel ini merupakan upaya untuk menguji kurikulum, sebagai salah satu subdisiplin.
Kurikulum sangat penting sehingga ia disebut sebagai ratu ilmu pendidikan. Kurikulum merupakan cerminan dari filosofi pendidikan dari institusi yang bersangkutan, berkaitan dengan fakta, mekanisme oleh tujuan yang akan dicapai.
Bersambung………….
[1] Lihat Hasan Langgulung, "Islamisasai Pendidikan dari Perspektif Metodologi" (Islamization of Education from the Methodological Perspective), paper presented at the National Seminar on Islamization of Education, Department of Education, International Islamic University Malaysia, Kuala Lumpur, July 14-16, 1998.

Jumat, 15 Oktober 2010

Merancang Strategi Pendidikan Islam Masa Depan

Ainul Yaqin
1. Pendahuluan
Tujuan pokok dari pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, hasil yang ingin dicapai dari pendidikan Islam adalah menciptakan manusia beradab dalam pengertian yang menyeluruh meliputi kehidupan spiritual dan material. Orang yang terpelajar dalam pandangan Islam adalah orang yang beradab, yaitu orang yang menyadari sepenuhnya tanggungjawab dirinya kepada Allah, memahami dan menunaikan keadilan terhadap diri sendiri dan orang lain dalam masyarakat, dan terus berupaya untuk meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.
Berangkat dari pengertian di atas ada dua misi yang harus ditempuh dalam pendidikan Islam, pertama menanamkan pemahaman Islam secara komprehenship agar peserta didik mampu mengetahui ilmu-ilmu Islam sekalugus mempunyai kesadaran untuk mengamalkannya. Pendidikan Islam tidak semata-mata mengajarkan pengetahuan Islam secara teoritik sehingga hanya menghasilkan seorang islamolog, tetapi pendidikan Islam juga menekankan pada pembentukan sikap dan perilaku yang islami dengan kata lain membentuk manusia Islamist. Kedua, memberikan bekal kepada peserta didik agar nantinya dapat berkiprah dalam kehidupan masyarakat yang nyata, serta suvive menghadapi tantangan kehidupan melalui cara-cara yang benar.
Untuk kepentingan ini, pendidikan Islam harus mampu mengakses perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Pendidikan Islam tidak boleh mengasingkan diri dari realitas kehidupan yang senantiasa berkembang dan terus berubah sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Maka dalam kerangkan ini dituntut adanya stategi dan taktik dalam mengelola pendidikan Islam. Strargei ini mutlak harus disiapkan agar pendidikan Islam tidak terlibas oleh hegemoni perubahan itu sendiri.
2. Visi dan Orientasi Pendidikan Islam
Menurut Abuddin Nata, dapat dijumpai sekurang-kurangnya delapan penyakit yang menimpa masyarakat modern. Pertama desintegrasi antar ilmu pengetahuan (spesialisasi yang terlampau kaku) yang berakibat pada terjadinya pengkotak-kotakannya akal fikiran manusia dan cenderung membingunkan masyarakat. Kedua, kepribadian yang terpecah (splite personality) sebagai akibat dari kehidupan yang dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang terlampau terspesialisasi dan tidak berwatak nilai-nilai ketuhanan. Ketiga dangkalnya rasa keimanan, ketaqwaan, serta kemanusiaan, sebagai akibat kehidupan yang terlampau rasionalistik dan individualistik. Keempat, timbulnya pola hubungan yang materialistik sebagai akibat dari kehidupan yang mengejar duniawi yang berlebihan. Kelima, cenderung menghalalkan segala cara, sebagai akibat dari paham hedonisme yang melanda kehidupan. Keenam, mudah stres dan frustasi, sebagai akibat dari terlampau percaya dan bangga terhadap kemampuan dirinya, tanpa dibarengi sikap tawakal dan percaya pada ketentuan Tuhan. Ketujuh, perasaan terasing di tengah-tengah keramaian (lonely), sebagai sifat individualistik, dan kedelapan kehilangan harga diri dan masa depannya, sebagai akibat dari perbuatan yang menyimpang.
Ke- delapan pont yang dikemukakan oleh Abuddin Nata tersebut merupakan akibat dari kehidupan yang telah begitu jauh terhegemoni oleh budaya global yang didominasi oleh peradaban Barat. Sekularisasi ilmu pengetahuan adalah ciri khas dari peradaban Barat yang sekuler dan liberal. Demikian juga munculnya sifat hedonistik dan individualistik merupakan implikasi dari kapitalisme yang materialistik.
Dampak globalisai yang begitu kuat harus diantisipasi oleh dunia pendidikan khususnya Islam jika tidak ingin terlibas oleh arus hegemoniasi budaya global Barat. Dalam konteks ini, pendidikan harus mampu menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang tangguh yang tidak sekedar sebagai penerima arus informasi global, tetapi juga harus memberikan bekal kepada mereka agar dapat mengolah, menfilter, menyesuaikan dan mengembangkan segala hal yang diterima melalui arus informasi itu tanpa terhegemoni oleh kekuatan eksternal.
Berkenaan dengan hal di atas para pengelola pendidikan Islam harus menyadari terhadap ancaman ini. Orientasi pendidikan Islam yang sejak awal tidak semata-mata menekankan pada pengisian otak, tetapi juga pengisian jiwa, pembinaan akhlaq dan kepatuhan dalam menjalankan ibadah tidak boleh bergeser. Disamping itu juga harus dipikirkan upaya menciptakan manusia yang kreatif, inovatif produktif dan mandiri sehingga mempunyai ketegaran dalam menghadapi tantangan tanpa mudah terhegemoni. Visi pendidikan Islam harus mengintegrasikan berbagai pengetahuan yang terkotak-kotak ke dalam ikatan Tauhid. Di samping itu pendidikan Islam harus mampu memberikan filter dan arahan dalam penyerapan ilmu pengetahuan yang tidak sesuai dengan kaidah Islam.
3. Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Ide Islamisasi ilmu pengetahuan atau lebih tepatnya Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer lahir berangkat dari premis bahwa ilmu pengetahuan kontemporer tidak bebas nilai dan tidak universal. Prof. M. Naquib Al-Attas yang selama ini sebagai penggagas konsep Islamisisasi Ilmu Pengetahuan sebelum gagasan ini dipopulerkan oleh Ismail al-Faruqi, menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan modern sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat, yang mencerminkan kesadaran dan pengalaman Barat.
Sejalan dengan Al-Attas, Al-Faruqi menjelaskan bahwa klaim Barat yang mengatakan sains kemanusiaannya bersifat saintifik disebabkan sifatnya yang netral yakni sengaja menghindari dari pertimbangan dan kecenderungan manusia dengan menganggap fakta sebagai fakta dan membiarkan berbicara untuk dirinya sendiri adalah klaim yang kosong dengan kata lain bohong, karena tidak terdapat satu persepsi teoritis bagi segala fakta tanpa persepsi ciri dan hubungan aksiomanya.
Pemikiran Barat yang paling banyak mempengaruhi terhadap kelahiran ilmu pengetahuan modern adalah pemikiran sekularisme dan materialisme. Sekularisasi di sini melibatkan tiga komponen terpadu; “penolakan unsur transenden dalam alam semesta, memisahkan agama dari politik, dan nilai-nilai yang tidak mutlak atau relatif, artinya penolakan terhadap adanya nilai-nilai yang mutlak”. Pemikiran ini mempengaruhi konsep, penafsiran, dan makna ilmu itu sendiri.
Samsul Nizar mengidentifikasi ciri metode sains Barat; antara lain pertama, rasionalisme filosofis yang hanya merupakan persepsi inderawi; kedua, rasionalisme sekular yang cenderung lebih bersandarkan pada pengalaman inderawi dan menyangkal otoritas serta intuisi, serta menolak wahyu dan agama sebagai sumber ilmu yang benar; ketiga, empirisme filosofis yang menyandarkan seluruh ilmu pada fakta-fakta yang dapat diamati, bangunan logika dan analisis bahasa, dan menelantarkan aspek non empiris sebagai zat supranatural; keempat, sistem etika Barat bercorak antroposentris yaitu menempatkan manusia sebagai pusat dari segala-galanya sebagai sosok individu yang merdeka tanpa batas. Ciri-ciri tersebut sangat berbeda dengan metode sains Islam yang mengakui otoritas, intuisi, dan wahyu sebagai sumber ilmu. Demikian juga etika Islam bercorak teo-antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pelaku sejarah yang sekaligus sebagai makhluk Tuhan.
Metode sains Barat yang sekular tersebut bukan saja bertentangan dengan fitrah manusia yang merupakan worldview Islam, tetapi juga memutus ilmu dari pondasinya dan mengalihkannya dari tujuannya yang hakiki. Ilmu yang bermasalah ini dapat membawa pada kekacauan dalam kehidupan manusia dan bukan kedamaian dan keadilan. Ilmu yang nampaknya benar tetapi lebih produktif ke arah kekeliruan dan skeptisme.
Atas dasar inilah ilmu pengetahuan kontemporer tidak bisa diadopsi begitu saja tanpa disibghah dengan nilai-nilai Islam. Tugas Islamisasi ilmu menurut Al-Attas mencakup; pengujian kritis terhadap metode-metode sains modern, konsep-konsep, perkiraan-perkiraan, lambang-lambangnya, aspek empiris dan rasionalnya, serta apa saja yang mengenai nilai-nilai dan etika, tafsiran tentang asal muasal, teori tentang ilmu, perkiraan mengenai dunia eksternal, keseragaman alam, dan kerasionalan proses-proses natural, serta teorinya tentang jagad raya, klasifikasi sains, batasan-batasan dan saling hubungan antara sains dengan lainya dan hubungannya-hubungan sosial. Sedangkan menurut Al-Faruqi, islamisasi dapat dicapai melalui pemaduan ilmu baru ke dalam khazanah Islam dengan membuang, menata, menganalisis, menafsirkan ulang, dan menyesuaikannya menurut nilai dan pandangan Islam.
Cakupan Islamisasi ilmu di atas menunjukkan bahwa Islamisasi ilmu utamanya adalah urusan epistemologi dan metodologi, dan bekerja menciptakan ilmu baru melalui penggabungan ilmu dengan cara tertentu berdasarkan sumber-sumber Islam dan dihasilkan melalui metode-metode riset dan teori yang membangun usaha, ditujukan untuk memulihkan kegiatan saintifik secara umum dan sain sosial secara khusus, untuk memperbaiki jalur penggabungan antara wahyu dan observasi nyata, ia ini bukanlah proses penambahan dan pengurangan secara sepele tetapi sebuah proses penyandingan kreatif yang serius.
4. Penguatan Woldview Islam
Telah dimaklumi bahwa problem utama dari ilmu pengetahuan kontemporer adalah problem wodlview. Adopsi pengetahuan modern tanpa memperhatikan aspek voldwiew jelas akan menghasilkan keterkikisan.
Istilah woldview menurut Alparslan Acikgence sebagaimana dikutip oleh Hamid Fahmi Zarkasyi diartikan sebagai asas yang melandasi setiap aktifitas manusia termasuk aktifitas ilmiyah dan teknologi. Sedangkan Islamic woldview menurut Al-Attas diartikan sebagai pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati dan menjelaskan hakekat wujud. Dari woldview inilah akan lahir ilmu pengetahuan.
Penguatan woldview berarti penguatan pemahaman terhadap Islam dalam arti seutuhnya. Islam dijadikan sebagai tolok ukur dalam setiap aktivitas dan gerakan. Islam sebagai landasan berfikir, bertindak dan beramal, termasuk didalamnya sebagai landasan dalam menjelajah pengetahuan. Dengan ini pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang terarah sesuai dengan visi dan misi Islam.
5. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam
Peran lembaga pendidikan Islam adalah pelaksana operasional dalam menjalankan fungsi pendidikan Islam. Dengan demikian misi lembaga pendidikan Islam harus sejalan dengan misi pendidikan Islam yakni membentuk manusia beradab yaitu manusia yang sadar atas hak dan kewajiban atas Tuhannya, atas dirinya dan atas lingkungannya. Karena itulah manajemen pendidikan Islam harus berangkat dari pemikiran bagaimana menciptakan manusia beradab.
Dalam kerangka mengemban misi pembentukan manusia beradab, ada tawaran yang bisa diadobsi dalam opersionalisasi Lembaga Pendidikan Islam, yaitu manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) atau School Based Manajement (SBM). Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dsb.) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku (Catatan: MPMBS tidak dibenarkan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku). Esensi MPMBS= otonomi sekolah + fleksibilitas + partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Otonomi di sini diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Sedangkan fleksibilitas, dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dsb.) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Konsep MPMBS ini patut diterima oleh lembaga pendidikan Islam di Indonesia terkait dengan kenyataan bahwa kebijakan pendidikan selama ini terlalu banyak dicampuri oleh kepentingan politik penguasa khususnya penguasa Orde Baru. Kebijakan pendidikan orde baru yang cenderung bersifat homogenisasi serta berorientasi pada teknologi pendidikan telah melenyapkan kekhasan dari lembaga pendidikan Islam. Karena itulah tawaran MPMBS adalah mengembalikan Lembaga Pendidikan Islam pada habitat semula dengan segala kekhasannya. Dengan MPMBS lembaga pendidikan Islam di Indonesia seharusnya dapat menata diri sesuai dengan visi dan misi yang diembannya.
6. Kilas Balik
Setelah mencermati kerangka ideal strategi pengelolaan organisasi pendidikan Islam patut kiranya menelaah kondiri lembaga pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini. Kondisi organisasi pendidikan Islam di Indonesia masih belum sembuh dari kondisi patologis baik yang disebabkan oleh pengaruh global yang didominasi oleh peradaban Barat, maupun kondiri lokal akibat dari kebijaksanaan pendidikan Orde Baru yang sentralistik. Kondisi patologis tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
a. Masih kuatnya pola dikotomi ilmu agama dan umum yang merupakan ciri khas dari pengembangan ilmu yang dipengaruhi oleh woldview Barat yang sekularistik. Hal ini tampak sekali dari adanya sistem penjurusan yang yang mengelompokkan kedalam jurusan agama dan umum. Jurusan agama seolah-olah terlepas dari umum dan sebaliknya. Hal ini sangat berbeda dengan pengajaran ilmu dalam tradisi Islam yang tidak mengenal dikotomi ini. Pengajaran ilmu dalam Islam disusun secara hierarkis yang dikenal dengan ilmu wajib a’in dan ilmu wajib kifayah. Setiap peserta didik akan menerima pengajaran ilmu wajib a’in sedangkan ilmu wajib kifayah adalah spesialisasi. Konsep wajib a’in dan wajib kifayah ini bukanlah konsep dikotomi, tetapi lebih kepada skala prioritas.
b. Dalam beberapa hal telah dilakukan upaya pengintegrasian, tetapi sifatnya masih artifisial, tambal sulam, dan tidak integral. Hal ini terlihat dari kebijakan beberapa lembaga pendidikan tinggi Islam antara lain IAIN dan STAIN yang membuka tidak hanya jurusan agama tetapi juga umum, demikian juga dengan bermunculan sekolah-sekolah Islam di tingkat menengah dan dasar. Namun, keberadaan jurusan-jurusan yang bersangkutan masih terpaku pada jebakan dikotomi ilmu. Walaupun pendidikan umum yang dikelola oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam baik tingkat perguruan tinggi maupun di tingkat yang lebih bawah memiliki ciri muatan pengetahuan agama lebih banyak tetapi belum terdapat pengintegrasian ilmu secara metodologis lebih-lebih epistemologis. Hal ini terlihat sekali bahwa ilmu pengetahuan umum masih berjalan seperti wujud semula tidak diislamisasi. Berbagai teori-teori ilmu pengetahuan kontemporer diadopsi begitu saja tanpa dikritisi. Bahkan dalam pengkajian filsafat ilmu yang banyak bersentuhan dengan epistemologi yang merupakan teori ilmu yang sangat mendasar ternyata masih secara utuh diadopsi dari teori-teori Barat tanpa pengkritisan.
c. Kondisi lebih parah justru terletak pada pola metode studi Islam terutama diperguruan tinggi. Studi Islam yang semestinya menjadi pondasi malah terhegemoni oleh metode studi Barat yang sekuler dan liberal. Akibatnya, pendidikan Islam yang semestinya menghasilkan manusia-manusia yang bertaqwa tetapi yang terjadi malah menciptakan orang-orang yang ragu pada ajaran agama. Contoh adalah penggunaan hermeneutika khususnya dalam studi Al-Qur’an yang mampu menggeser keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci.
7. Kesimpulan
Tantangan globalisasi Barat yang hegemonik telah menimbuklan berbagai dampak yang serius pada masa depan pendidikan Islam. Realitas ini harus segera disadari oleh umat Islam dan lebih khusus lagi yang berkecimpung di dunia pendidikan. Untuk itulah perlu ada langkah taktis dan stategis yang bersifat antisipatif dan alternatif untuk membebaskan diri dari cengkeraman globalisasi Barat yang hegemonik. Langkah strategis itu meliputi; pemantapan visi dan misi yang berangkat dari penguatan pemahaman terhadap woldview Islam, Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, dan perbaikan sistem pengelolaan lembaga pendidikan Islam.(mm)
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Abrosyi, M. Athiyah, Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam (terjemahan KH Abdullah Zaky al-Kaaf), Pustaka Setia, Bandung, 2003
Al-A’zami, M.M., Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, Gema Insani, Jakarta, 2005
Armas, Adnin, Metodologi Bibel Dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani, Jakarta, 2005
Daud, Wan Mohd. Nor Wan, Filsafat dan Prektek Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Mizan, Bandung, 1998
Dirjen Dikdasmen Depdiknas, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, http://www.dikdasmen.depdiknas.go.id/html/plp/pdf/KONSEP_MPMBS.pdf. diakses 23/02/2006
Haneef, Aslam , Islamisasi Ilmu Ekonomi: Apa yang Salah, Jurnal Islamia, Vol 1 No. 6, 2005
Hashim, Rosnani, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer; Sejarah, Perkembangan, dan Arah Tujuan, Jurnal Islamia, Vol 1 No. 6, 2005
Husaini, Adian, Hegemoni Kristen-Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Gema Insani, Jakarta, 2006
Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Kencana, 2003
Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001
Al-Rubaie, Amer, ‘Globalisasi dan Posisi Peradaban Islam’, Jurnal Islamia Vol. 1 No. 4, 2005
Yaqin, Ainul, dkk, Bunga Rampai Petunjuk Produk Halal, LPPOM MUI-MUI Prop. Jatim, 2004
Zainuddin, dkk., Seluk-Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Bumi Aksara, Jakarta, 1991
Zarkasyi, Hamid Fahmi, Woldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, Jurnal Islamia Vol. 2 No. 5, 2005

Kamis, 14 Oktober 2010

Mengatasi Anak Bermasalah

Oleh : Imam Affandi, S.Psi, MM
“Buah jatuh tidak jauh dari pohonya” barangkali inilah yang tepat untuk mengilustrasikan tentang “pola asuh”. seperti kita ketahui bahwa pola asuh banyak dipengaruhi oleh berbagai elemen, seperti lingkungan dimana anak berinteraksi atau nilai-nilai yang diadopsi anak didalam diri dan kepribadianya semua itu akan menjadi suatu script dalam kehidupan anak.

Why? kenapa anak dianggap bermasalah? anak akan dianggap bermasalah manakala ia berbenturan dengan nilai dan norma yang dijadikan acuan oleh orangtua walaupun sesungguhnya nilai dan norma itu bersifat relatif.

When? kapan anak dianggap bermasalah?. anak bermasalah bukanlah anak yang “nakal”, “bodoh”, “main terus tidak pernah belajar”, “usil” dan segudang label lainnya yang seringkali diatributi pada “anak bermasalah”. Anak memunculkan suatu perilaku baru diluar perilaku kebiasaanya dan dianggap menggangu atau meresahkan orang disekitarnya

Where? anak bermasalah biasanya memunculkan suatu perilaku ketika situasi psikologisnya dirasakan tidak nyaman. perilaku itu akan muncul kapan saja tanpa perencanaan namun demikian masih dapat dikendalikan.

How? bagaimana mengatasi anak bermasalah? memukul, memarahi, mengurung anak dirumah dan sebagainya adalah “tindakan kejahatan terhadap anak”. anak bermasalah bukan untuk dihukum layaknya seorang terdakwa, akan tetapi anak bermasalah memerlukan suatu “teraphy” didalam penangananya. Teraphy disini bisa berupa teraphy pembentukan dan pembiasaan perilaku baru (new habbits teraphy) atau melalui konseling keluarga. tanpa dukungan, arahan dan ketauladanan yang dicontohkan orangtua kepada anak, anak akan selamanyamelakukan”modeling”. namun demikian ketika orangtua mengetahui bagaimana memerlakukan anak secara wajar sesuai dengan taraf usia pertumbuhan dan perkembangan psikologis anak maka benturan nilai-nilai tidak akan terjadi

jadi, jangan pernah memarahi anak tanpa suatu alasan yang edukatif apabila anda menginginkan anak menuruti kemauan Anda. akan tetapi melalui pemahaman dan ketauladan sikap anak akan memodeling perilaku tersebut secara positif dalam kehidupannya.