SELALU CERIA..................
SHOLEH,JUJUR,CERDAS,KREATIF DAN BERAKHLAK ISLAMI

PROFIL

Jumat, 31 Desember 2010

Metode Pendidikan Islam

Oleh :

A. Farhan Syaddad, Apip Radiyana, Asep Nuryana

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tidaklah berlebihan jika ada sebuah ungkapan “aththariqah ahammu minal maddah”, bahwa metode jauh lebih penting disbanding materi, karena sebaik apapun tujuan pendidikan, jika tidak didukung oleh metode yang tepat, tujuan tersebut sangat sulit untuk dapat tercapai dengan baik. Sebuah metode akan mempengaruhi sampai tidaknya suatu informasi secara lengkap atau tidak.. Oleh sebab itu pemilihan metode pendidikan harus dilakukan secara cermat, disesuaikan dengan berbagai faktor terkait, sehingga hasil pendidikan dapat memuaskan.[1]Apa yang dilakukan Rasulullah SAW saat menyampaikan wahyu Allah kepada para sahabatnya bisa kita teladani, karena Rasul saw. sejak awal sudah mengimplementasikan metode pendidikan yang tepat terhadap para sahabatnya. Strategi pembelajaran yang beliau lakukan sangat akurat dalam menyampaikan ajaran Islam. Rasul saw. sangat memperhatikan situasi, kondisi dan karakter seseorang, sehingga nilai-nilai Islami dapat ditransfer dengan baik. Rasulullah saw. juga sangat memahami naluri dan kondisi setiap orang, sehingga beliau mampu menjadikan mereka suka cita, baik meterial maupun spiritual, beliau senantiasa mengajak orang untuk mendekati Allah swt. dan syari’at-Nya.

B. Perumusan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam makalah ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengertian Metode dan Pendekatan dalam pendidikan Islam ?
2. Apa Saja Dasar-dasar dari pelaksanaan metode tersebut
3. Macam-macam Metode dan Pendekatan Dalam Pendidikan Islam

Ketiga pertanyaan di atas akan menjadi sasaran pembahasan kami, dengan harapan pembahasan yang kami lakukan menjadi terarah.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Metode dan Pendekatan

Kata metode berasal dari bahasa Yunani. Secara etimologi, kata metode berasal dari dari dua suku perkataan, yaitu meta dan hodos. Meta berarti “melalui dan hodos berrti “jalan” atau “cara”[2]. Dalam Bahasa Arab metode dikenal dengan istilah thariqah yang berarti langkah-langkah strategis yang harus dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. [3]Sedangkan dalam bahasa Inggris metode disebut method yang berarti cara dalam bahasa Indonesia.[4]

Sedangkan menurut terminologi (istilah) para ahli memberikan definisi yang beragam tentang metode, terlebih jika metode itu sudah disandingkan dengan kata pendidikan atau pengajaran diantaranya :

1. Winarno Surakhmad mendefinisikan bahwa metode adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan[5]
2. Abu Ahmadi mendefinisikan bahwa metode adalah suatu pengetahuan tentang cara-cara mengajar yang dipergunakan oleh seorang guru atau instruktur[6]
3. Ramayulis mendefinisikan bahwa metode mengajar adalah cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan peserta didik pada saat berlangsungnya proses pembelajaran. Dengan demikian metode mengajar merupaka alat untuk menciptakan proses pembelajaran.[7]
4. Omar Mohammad mendefinisikan bahwa metode mengajar bermakna segala kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya, cirri-ciri perkembangan muridnya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan menolong murid-muridnya untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka.[8]

Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ahli mengenai pengertian metode di atas, beberapa hal yang harus ada dalam metode adalah :

1. Adanya tujuan yang hendak dicapai
2. Adanya aktivitas untuk mencapai tujuan
3. Aktivitas itu terjadi saat proses pembelaran berlangsung
4. Adanya perubahan tingkah laku setelah aktivitas itu dilakukan.

Ada istilah lain yang dalam pendidikan yang mengandung makna berdekatan dengan metode, yaitu pendekatan dan teknik/strategi. Pendekatan merupakan pandangan falsafi terhadap subject matter yang harus diajarkan[9] dapat juga diartikan sebagai pedoman mengajar yang bersifat realistis/konseptual. Sedangkan teknik/strategi adalah siasat atau cara penyajian yang dikuasai pendidik dalam mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada peserta didik di dalam kelas, agar bahan pelajaran dapat dipahami dan digunakan dengan baik.

B. Dasar Metode Pendidikan Islam

Dalam penerapannya, metode pendidikan Islam menyangkut permasalahan individual atau social peserta didik dan pendidik itu sendiri. Untuk itu dalam menggunakan metode seorang pendidik harus memperhatikan dasar-dasar umummetode pendidikan Islam. Sebab metode pendidikan merupakan sarana atau jalan menuju tujuan pendidikan, sehingga segala jalan yang ditempuh oleh seorang pendidik haruslah mengacu pada dasar-dasar metode pendidikan tersebut. Dasar metode pendidikan Islam itu diantaranya adalah dasar agamis, biologis, psikologis, dan sosiologis.[10]

1. Dasar Agamis, maksudnya bahwa metode yang digunakan dalam pendidikan Islam haruslah berdasarkan pada Agama. Sementara Agama Islam merujuk pada Al Qur’an dan Hadits. Untuk itu, dalam pelaksanannya berbagai metode yang digunakan oleh pendidik hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan yang muncul secara efektif dan efesien yang dilandasi nilai-nilai Al Qur’an dan Hadits.
2. Dasar Biologis, Perkembangan biologis manusia mempunyai pengaruh dalam perkembangan intelektualnya. Semakin dinamis perkembangan biologis seseorang, maka dengan sendirinya makin meningkat pula daya intelektualnya. Untuk itu dalam menggunakan metode pendidikan Islam seorang guru harus memperhatikan perkembangan biologis peserta didik.
3. Dasar Psikologis. Perkembangan dan kondisi psikologis peserta didik akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap penerimaan nilai pendidikan dan pengetahuan yang dilaksanakan, dalam kondisi yang labil pemberian ilmu pengetahuan dan internalisasi nilai akan berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Oleh Karenanya Metode pendidikan Islam baru dapat diterapkan secara efektif bila didasarkan pada perkembangan dan kondisi psikologis peserta didiknya. Untuk itu seorang pendidik dituntut untuk mengembangkan potensi psikologis yang tumbuh pada peserta didik. Sebab dalam konsep Islam akal termasuk dalam tataran rohani.
4. Dasar sosiologis. Saat pembelanjaran berlangsung ada interaksi antara pesrta didik dengan peserta didik dan ada interaksi antara pendidik dengan peserta didik, atas dasar hal ini maka pengguna metode dalam pendidikan Islam harus memperhatikan landasan atau dasar ini. Jangan sampai terjadi ada metode yang digunakan tapi tidak sesuai dengan kondisi sosiologis peserta didik, jika hal ini terjadi bukan mustahil tujuan pendidikan akan sulit untuk dicapai.

Keempat dasar di atas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan harus diperhatikan oleh para pengguna metode pendidikan Islam agar dalam mencapai tujuan tidak mengunakan metode yang tidak tepat dan tidak cocok kondisi agamis, kondisi biologis, kondisi psikologis, dan kondisi sosiologis peserta didik.

C. Macam-macam Metode dan Pendekatan dalam Pendidikan Islam

1. Macam-macam metode

Sebagai ummat yang telah dianugerahi Allah Kitab AlQuran yang lengkap dengan petunjuk yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan bersifat universal sebaiknya menggunakan metode mengajar dalam pendidikan Islam yang prinsip dasarnya dari Al Qur’an dan Hadits. Diantara metode- metode tersebut adalah [11]:

a. Metode Ceramah

Metode ceramah adalah cara penyampaian inforemasi melalui penuturan secara lisan oleh pendidik kepada peserta didik. Prinsip dasar metode ini terdapat di dalam Al Qur’an :

فَلَمَّآ أَنجَاهُمْ إِذَا هُمْ يَبْغُونَ فِي اْلأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا بَغْيُكُمْ عَلَى أَنفُسِكُم مَّتَاعَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ إِلَيْنَا مَرْجِعُكُمْ فَنُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, Sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (Q.S. Yunus : 23)

b. Metode Tanya jawab

Metode Tanya jawab adalah suatu cara mengajar dimana seorang guru mengajukan beberapa pertanyaan kepada murid tentang bahan pelajaran yang telah diajarkan atau bacaan yang telah mereka baca.

Prinsip dasar metode ini terdapat dalam hadits Tanya jawab antara Jibril dan Nabi Muhammad tentang iman, islam, dan ihsan.

Selain itu ada juga hadits yang lainnya seperti hadits berikut ini :

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ ح وَقَالَ قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا بَكْرٌ يَعْنِي ابْنَ مُضَرَ كِلَاهُمَا عَنْ ابْنِ الْهَادِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَفِي حَدِيثِ بَكْرٍ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالُوا لَا يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالَ فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا.

Artinya: Hadis Qutaibah ibn Sa’id, hadis Lâis kata Qutaibah hadis Bakr yaitu ibn Mudhar dari ibn Hâd dari Muhammad ibn Ibrahim dari Abi Salmah ibn Abdurrahmân dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw. bersabda; Bagaimana pendapat kalian seandainya ada sungai di depan pintu salah seorang di antara kalian. Ia mandi di sana lima kali sehari. Bagaimana pendapat kalian? Apakah masih akan tersisa kotorannya? Mereka menjawab, tidak akan tersisa kotorannya sedikitpun. Beliau bersabda; Begitulah perumpamaan salat lima waktu, dengannya Allah menghapus dosa-dosa. (Muslim, I: 462-463)

c. Metode diskusi

Metode diskusi adalah suatu cara penyajian/ penyampaian bahan pelajaran dimana pendidik memberikan kesempatan kepada peserta didik/ membicarakan dan menganalisis secara ilmiyah guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternative pemecahan atas sesuatu masalah. Abdurrahman Anahlawi[12]menyebut metode ini dengan sebutan hiwar (dialog).

Prinsip dasar metode ini terdapat dalam Al Qur’an Surat Assafat : 20-23 yang berbunyi :

وَقَالُوا يَاوَيْلَنَا هَذَا يَوْمُ الدِّينِ هَذَا يَوْمُ الْفَصْلِ الَّذِي كُنتُم بِهِ تُكَذِّبُونَ احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَاكَانُوا يَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ

Dan mereka berkata:”Aduhai celakalah kita!” Inilah hari pembalasan.Inilah hari keputusan yang kamu selalu mendustakannya(kepada Malaikat diperintahkan): “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah,Selain Allah; Maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. (Q.S. Assafat : 20-23)

Selain itu terdapat juga dalam hadits yang berbunyi :

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ.

Artinya: Hadis Qutaibah ibn Sâ’id dan Ali ibn Hujr, katanya hadis Ismail dan dia ibn Ja’far dari ‘Alâ’ dari ayahnya dari Abu Hurairah ra. bahwasnya Rasulullah saw. bersabda: Tahukah kalian siapa orang yang muflis (bangkrut)?, jawab mereka; orang yang tidak memiliki dirham dan harta.Rasul bersabda; Sesungguhnya orang yang muflis dari ummatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) salat, puasa dan zakat,. Dia datang tapi telah mencaci ini, menuduh ini, memakan harta orang ini, menumpahkan darah (membunuh) ini dan memukul orang ini. Maka orang itu diberi pahala miliknya. Jika kebaikannya telah habis sebelum ia bisa menebus kesalahannya, maka dosa-dosa mereka diambil dan dicampakkan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke neraka.(Muslim, t.t, IV: 1997)

d. Metode Pemberian Tugas

Metode pemberian tugas adalah suatu cara mengajar dimana seorang guru memberikan tugas-tugas tertentu kepada murid-murid, sedangkan hasil tersebut diperiksa oleh gur dan murid harus mempertanggung jawabkannya.

Prinsip dasar metode ini terdapat dalam Al Qur’an yang berbunyi :

يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنذِرْ وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ وَلاَتَمْنُن تَسْتَكْثِرُ وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ

Artinya :

1. Hai orang yang berkemul (berselimut),
2. Bangunlah, lalu berilah peringatan!
3. Dan Tuhanmu agungkanlah!
4. Dan pakaianmu bersihkanlah,
5. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah,
6. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.
7. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.

e. Metode Demontrasi

Metode demontrasi adalah suatu cara mengajar dimana guru mempertunjukan tentang proses sesuatu, atau pelaksanaan sesuatu sedangkan murid memperhatikannya.

Prinsip dasarnya terdapat dalam hadits yang berbunyi

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ قَالَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ أَتَيْنَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ يَوْمًا وَلَيْلَةً وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدْ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا أَوْ قَدْ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْ لا أَحْفَظُهَا وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي.

Artinya: Hadis dari Muhammad ibn Muşanna, katanya hadis dari Abdul Wahhâb katanya Ayyũb dari Abi Qilâbah katanya hadis dari Mâlik. Kami mendatangi Rasulullah saw. dan kami pemuda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau selama (dua puluh malam) 20 malam. Rasulullah saw adalah seorang yang penyayang dan memiliki sifat lembut. Ketika beliau menduga kami ingin pulang dan rindu pada keluarga, beliau menanyakantentang orang-orang yang kami tinggalkan dan kami memberitahukannya. Beliau bersabda; kembalilah bersama keluargamu dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka dan suruhlah mereka. Beliau menyebutkan hal-hal yang saya hapal dan yang saya tidak hapal. Dan salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat. (al-Bukhari, I: 226)

f. Metode eksperimen

Suatu cara mengajar dengan menyuruh murid melakukan suatu percobaan, dan setiap proses dan hasil percobaan itu diamati oleh setiap murid, sedangkan guru memperhatikan yang dilakukan oleh murid sambil memberikan arahan.

Prinsip dasar metode ini ada dalam hadits :

حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا الْحَكَمُ عَنْ ذَرٍّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى عَنْ أَبِيهِ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّي أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبْ الْمَاءَ فَقَالَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَمَا تَذْكُرُ أَنَّا كُنَّا فِي سَفَرٍ أَنَا وَأَنْتَ فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ فَذَكَرْتُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا فَضَرَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَفَّيْهِ الْأَرْضَ وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ ….

Artinya: Hadis Adam, katanya hadis Syu’bah ibn Abdurrahmân ibn Abzâ dari ayahnya, katanya seorang laki-laki datang kepada Umar ibn Khattâb, maka katanya saya sedang janabat dan tidak menemukan air, kata Ammar ibn Yasir kepada Umar ibn Khattâb, tidakkah anda ingat ketika saya dan anda dalam sebuah perjalanan, ketika itu anda belum salat, sedangkan saya berguling-guling di tanah, kemudian saya salat. Saya menceritakannya kepada Rasul saw. kemudian Rasulullah saw. bersabda: ”Sebenarnya anda cukup begini”. Rasul memukulkan kedua telapak tangannya ke tanah dan meniupnya kemudian mengusapkan keduanya pada wajah.(al-Bukhari, I: 129)

Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah dan şiqah hafiz, şiqah şubut. Menurut al-Asqalani, hadis ini mengajarkan sahabat tentang tata cara tayammum dengan perbuatan. (Al-Asqalani, I: 444) Sahabat Rasulullah saw. melakukan upaya pensucian diri dengan berguling di tanah ketika mereka tidak menemukan air untuk mandi janabat. Pada akhirnya Rasulullah saw. memperbaiki ekperimen mereka dengan mencontohkan tata cara bersuci menggunakan debu.

g. Metode Amsal/perumpamaan

Yaitu cara mengajar dimana guru menyampaikan materi pembelajaran melalui contoh atau perumpamaan.

Prinsip metode ini terdapat dalam Al Qur’an

مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّآ أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لاَّ يُبْصِرُونَ

Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. (Q.S. Albaqarah : 17)

Selain itu terdapat pula dalam hadits yang berbunyi :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَاللَّفْظُ لَهُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ يَعْنِي الثَّقَفِيَّ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ الْمُنَافِقِ كَمَثَلِ الشَّاةِ الْعَائِرَةِ بَيْنَ الْغَنَمَيْنِ تَعِيرُ إِلَى هَذِهِ مَرَّةً وَإِلَى هَذِهِ مَرَّةً .

Artinya; Hadis dari Muhammad ibn Mutsanna dan lafaz darinya, hadis dari Abdul Wahhâb yakni as- Śaqafi, hadis Abdullah dari Nâfi’ dari ibn Umar, Nabi saw. bersabda: Perumpamaan orang munafik dalam keraguan mereka adalah seperti kambing yang kebingungan di tengah kambing-kambing yang lain. Ia bolak balik ke sana ke sini. (Muslim, IV: 2146)

Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah dan şiqah şubut, şiqah hâfiz, sedangkan ibn Umar adalah sahabat Rasulullah saw. Menurut ath-Thîby (1417H, XI: 2634), orang-orang munafik, karena mengikut hawa nafsu untuk memenuhi syahwatnya, diumpamakan seperti kambing jantan yang berada di antara dua kambing betina. Tidak tetap pada satu betina, tetapi berbolak balik pada ke duanya. Hal tersebut diumpamakan seperti orang munafik yang tidak konsisten dengan satu komitmen.
Perumpamaan dilakukan oleh Rasul saw. sebagai satu metode pembelajaran untuk memberikan pemahaman kepada sahabat, sehingga materi pelajaran dapat dicerna dengan baik. Matode ini dilakukan dengan cara menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, mendekatkan sesuatu yang abstrak dengan yang lebih konkrit. Perumpamaan yang digunakan oleh Rasulullah saw. sebagai satu metode pembelajaran selalu syarat dengan makna, sehinga benar-benar dapat membawa sesuatu yang abstrak kepada yang konkrit atau menjadikan sesuatu yang masih samar dalam makna menjadi sesuatu yang sangat jelas.

h. Metode Targhib dan Tarhib

Yaitu cara mengajar dimana guru memberikan materi pembelajaran dengan menggunakan ganjaran terhadap kebaikan dan hukuman terhadap keburukan agar peserta didik melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan.

Prinsip dasarnya terdapat dalam hadits berikut ini :

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرٍو عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ.

Artinya: Hadis Abdul Aziz ibn Abdillah katanya menyampaikan padaku Sulaiman dari Umar ibn Abi Umar dari Sâ’id ibn Abi Sa’id al-Makbârî dari Abu Hurairah, ia berkata: Ya Rasulullah, siapakah yang paling bahagia mendapat syafa’atmu pada hari kiamat?, Rasulullah saw bersabda: Saya sudah menyangka, wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada yang bertanya tentang hadis ini seorangpun yang mendahului mu, karena saya melihat semangatmu untuk hadis. Orang yang paling bahagia dengan syafaatku ada hari Kiamat adalah orang yang mengucapkan ”Lâilaha illa Allah” dengan ikhlas dari hatinya atau dari dirinya.(al-Bukhari, t.t, I: 49)

Selain hadits juga hadits berikut ini :

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي عَمْرٌو عَنْ بَكْرِ بْنِ سَوَادَةَ الْجُذَامِيِّ عَنْ صَالِحِ بْنِ خَيْوَانَ عَنْ أَبِي سَهْلَةَ السَّائِبِ بْنِ خَلَّادٍ قَالَ أَحْمَدُ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا أَمَّ قَوْمًا فَبَصَقَ فِي الْقِبْلَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ فَرَغَ لَا يُصَلِّي لَكُمْ….

Artinya: Hadis Ahmad ibn Shalih, hadis Abdullah ibn Wahhab, Umar memberitakan padaku dari Bakr ibn Suadah al-Juzâmi dari Shâlih ibn Khaiwân dari Abi Sahlah as-Sâ’ib ibn Khallâd, kata Ahmad dari kalangan sahabat Nabi saw. bahwa ada seorang yang menjadi imam salat bagi sekelompok orang, kemudian dia meludah ke arah kiblat dan Rasulullah saw. melihat, setelah selesai salat Rasulullah saw. bersabda ”jangan lagi dia menjadi imam salat bagi kalian”… (Sijistani, t.t, I: 183).

Hadis di atas tergolong syarîf marfū’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah hâfiz, şiqah dan şiqah azaly. Memberikan hukuman (marah) karena orang tersebut tidak layak menjadi imam. Seakan-akan larangan tersebut disampaikan beliau tampa kehadiran imam yang meludah ke arah kiblat ketika salat. Dengan demikian Rasulullah saw. memberi hukuman mental kepada seseorang yang berbuat tidak santun dalam beribadah dan dalam lingkungan social.
Sanksi dalam pendidikan mempunyai arti penting, pendidikan yang terlalu lunak akan membentuk pelajar kurang disiplin dan tidak mempunyai keteguhan hati. Sanksi tersebut dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut, dengan teguran, kemudian diasingkan dan terakhir dipukul dalam arti tidak untuk menyakiti tetapi untuk mendidik. Kemudian dalam menerapkan sanksi fisik hendaknya dihindari kalau tidak memungkinkan, hindari memukul wajah, memukul sekedarnya saja dengan tujuan mendidik, bukan balas dendam.

i. Metode pengulangan (tikror)

Yaitu cara mengajar dimana guru memberikan materi ajar dengan cara mengulang-ngulang materi tersebut dengan harapan siswa bisa mengingat lebih lama materi yang disampaikan.

Prinsip dasarnya terdapat dalam hadits berikut :

حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ بَهْزِ بْنِ حَكِيمٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ.

Artinya: Hadis Musaddad ibn Musarhad hadis Yahya dari Bahzâ ibn Hâkim, katanya hadis dari ayahnya katanya ia mendengar Rasulullah saw bersabda: Celakalah bagi orang yang berbicara dan berdusta agar orang-orang tertawa. Kecelakaan baginya, kecelakaan baginya. (As-Sijistani, t.t, II: 716).

Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah dan şiqah hafiz, şiqah sadũq. Rasulullah saw. mengulang tiga kali perkataan ”celakalah”, ini menunjukkan bahwa pembelajaran harus dilaksanakan dengan baik dan benar, sehingga materi pelajaran dapat dipahami dan tidak tergolong pada orang yang merugi.
Satu proses yang penting dalam pembelajaran adalah pengulangan/latihan atau praktek yang diulang-ulang. Baik latihan mental dimana seseorang membayangkan dirinya melakukan perbuatan tertentu maupun latihan motorik yaitu melakukan perbuatan secara nyata merupakan alat-alat bantu ingatan yang penting. Latihan mental, mengaktifkan orang yang belajar untuk membayangkan kejadian-kejadian yang sudah tidak ada untuk berikutnya bayangan-bayangan ini membimbing latihan motorik. Proses pengulangan juga dipengaruhi oleh taraf perkembangan seseorang. Kemampuan melukiskan tingkah laku dan kecakapan membuat model menjadi kode verbal atau kode visual mempermudah pengulangan. Metode pengulangan dilakukan Rasulullah saw. ketika menjelaskan sesuatu yang penting untuk diingat para sahabat.

B. Macam-macam pendekatan dalam pendidikan Islam

Menurut Ramayulis pendekatan pandangan falsafi terhadap subject matter yang harus diajarkan dan selanjutnya melahirkan metode mengajar.[13] Menurutnya setidaknya ada enam pendekatan yang dapat digunakan pendidikan Islam dalam pelaksanaan proses pembelajaran, yaitu :

1. Pendekatan pengalaman. Yaitu pemberian pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan. Dengan pendekatan ini peserta didik diberi kesempatan untuk mendapatkan pengalaman keagamaan, baik secara individual maupun kelompok. Ada pepatah yang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik.
2. Pendekatan pembiasaan. Pembiasaan adalah suatu tingkah laku tertentu yang sifatnya otomatis tanpa direncanakan terlebih dahulu dan berlaku begitu saja yang kadang kala tanpa dipikirkan. Pendekatan pembiasaan dalam pendidikan berarti memberikan kesempatan kepada peserta didik terbiasa mengamalkan ajarannya.
3. Pendekatan emosional. Pendekatan emosional adalah usaha untuk menggugah perasaan dan emosi peserta didik dalam meyakini ajaran Islam serta dapat merasakan mana yang baik dan mana yang buruk.
4. Pendekatan Rasional, yaitu suatu pendekatan mempergunakan rasio dalam memahami dan menerima kebesaran dan kekuasaan Allah. Dengan kekuatan akalnya manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, bahkan dengan akal yang dimilikinya juga manusia juga dapat membenarkan dan membuktikan adanya Allah.
5. Pendekatan fungsional, yaitu suatu pendekatan dalam rangka usaha menyampaikan materi agama dengan menekankan kepada segi kemanfaatan pada peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan tingkat perkembangannya. Ilmu Agama yang dipelajari anak di sekolah bukanlah hanya sekedar melatih otak tetapi diharapkan berguna bagi kehidupan anak, baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan social.
6. Pendekatan keteladanan. Pendekatan keteladanan adalah memperlihatkan keteladanan baik yang berlangsung melalui penciptaan kondisi pergaulan yang akrab antara personal sekolah, perilaku pendidik dan tenaga kependidikan lainnya yang mencerminkan akhlak terpuji, maupun yang tidak langsungmelalui suguhan ilustrasi berupa kisah-kisah ketauladanan.

BAB III

PENUTUP

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa metode dan pendekatan dalam pendidikan Islam mempunyai peranan yang amat penting dalam pencapaian tujuan pendidikan. Sebaik apapun materi yang akan kita sampaikan tanpa disertai metode yang tepat dalam pencapaiannya dikhawatirkan esensi dari materi tersebut tidak sampai dan tidak difahami oleh peserta ddik

Demikianlah pembahasan tentang metode dan pendekatan dalam pendidikan Islam yang sangat sederhana ini. Untuk menyempurnakan makalah ini kami berharap kritik dan saran yang membangun dari semua peserta diskusi sore hari ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Joko Triprasetyo, 2005, Strategi Belajar Mengajar, Bandung : Pustaka setia

Anwar, Qamari, 2003, Pendidikan Sebagai Karakter Budaya Bangsa, Jakarta : UHAMKA Press.

Al Syaibani, Omar Mohammad, 1979, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang

Echol, Jhon M dan Shadily, Hasan, 1995, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Ramayulis, 2008, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia

________, 2008, Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia

Ramayulis dan Nizar, Samsu, 2009, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia

Surakhmad, Winarno, 1998, Pengantar Interaksi Belajar Mengajar, Bandung : Tarsito

Catatan Kaki

[1] Qamari Anwar, Pendidikan sebagai karakter budaya bangsa, Jakarta, UHAMKA Press, 2003, halaman. 42

[2] Ramayulis dan Samsu Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, Jakarta : Kalam mulia, 2009, halaman 209.

[3] Shalih Abd. Al Aziz, at tarbiyah wa thuriq al tadris, kairo, maarif, 119 H, hal. 196 dalam Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2008, hal. 2-3.

[4] John M Echol dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995, hal. 379.

[5] Surakhmad, Pengantar interaksi Belajar Mengajar, Bandung : Tarsito, 1998, hal. 96

[6] Abu Ahmadi, Strategi Belajar Mengajar, Bandung : Pustaka Setia, 2005, hal. 52

[7] Ramayulis, Metodologi hal. 3

[8] Omar Mohammad, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1979, hal.553

[9] Ramayulis dan Samsu Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hal 209

[10] Ramayulis dan Samsu Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 216

[11] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2008. Hal. 193

[12] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 194

[13] Ramayulis dan Samsu Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 210

Sabtu, 23 Oktober 2010

Pendidikan Karakter: Apa Lagi?

Pendidikan karakter! Dua kata ini, sejak 2009 seolah menjadi primadona, khususnya dalam dunia pendidikan. Berbagai diskusi, seminar, ceramah, dan bedah buku dilakukan untuk membahas dua kata tersebut.

Maklum, belakangan, marak berbagai peristiwa yang mempertanyakan moral atau karakter bangsa Indonesia. Media TV nyaris tiap hari diserbu tayangan-tayangan kekerasan. Terbongkarnya manipulasi pajak seorang pegawai golongan rendah bernilai puluhan milyar rupiah membelalakkan mata banyak orang. Berita pelesiran sejumlah wakil rakyat “yang terhormat” dengan menghambur-hamburkan uang rakyat menambah perut rakyat semakin mules. Kasus video porno tiga orang artis terkenal dan maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja semakin membetot perhatian pelaku dan praktisi pendidikan.

Data tentang korupsi pejabat misalnya, dari hasil riset yang dilakukan dalam Transparency International Corruption Perceptions Index 2009, masih menempatkan Indonesia pada peringkat yang sangat memperihatinkan. Terkait dengan penyalahgunaan narkotika, Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2009 tercatat adanya 3,6 juta pengguna narkoba di Indonesia, dan 41% diantara mereka pertama kali mencoba narkoba di usia 16-18 tahun, yakni usia remaja SMP-SMU. (Republika online, 26/06/2009).


Apa yang salah dengan pendidikan kita?
Padahal, di atas kertas, tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 (UU Sisdiknas), sangatlah ideal: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Karena tidak “nyambung” antara cita dan fakta itu lalu sejumlah tokoh pendidikan dan pemerintah menggelorakan slogan besar: kita perlu Pendidikan Karakter! Dulu sudah pernah ada Pendidikan Moral Pancasila (PMP), ada Pendidikan Akhlak, Pendidikan Etika, Pendidikan Kewarganegaraan, dan sebagainya.
Lalu, apalagi “makhluk” yang bernama Pendidikan Karakter ini?

Pentingnya karakter
Sejak berabad silam para ahli dan pemikir telah menuangkan ide-ide mereka bagaimana mendidik manusia agar menjadi manusia yang sebenarnya, yaitu manusia yang baik. Barat mengembangkan nilai-nilai moral dan karakter yang berasal dari Yunani, sedangkan Islam mengajarkan manusia berakhlak mulia berdasarkan petunjuk wahyu, Al-Quran dan As-Sunnah. Akhlak atau karakter Islam terbentuk atas dasar prinsip “ketundukan, kepasrahan, dan kedamaian” sesuai dengan makna dasar dari kata Islam.

Islam bukan hanya teori, tapi ada contoh. Nabi Muhammad SAW menjadi contoh (uswah hasanah). Kata ‘Aisyah r.a, akhlak Rasulullah saw adalah al-Quran.

Para pemikir muslim sejak awal telah mengemukakan pentingnya pendidikan karakter. Ibn Miskawaih ((320-421H/932-1030 M), adalah ulama klasik yang mendalami filsafat etika sehingga dikenal sebagai Bapak Etika Islam. Dalam bukunya yang berjudul Tahdzib al-Akhlaq Ibn Miskawaih mengemukakan pentingnya dalam diri manusia menanamkan kualitas-kualitas akhlak dan melaksanakannya dalam tindakan-tindakan utama secara spontan. Menurutnya, akhlak adalah "keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu”. Ia menyebutkan adanya dua sifat yang menonjol dalam jiwa manusia, yaitu sifat buruk dari jiwa yang pengecut, sombong, dan penipu, dan sifat jiwa yang cerdas yaitu adil, pemberani, pemurah, sabar, benar, tawakal, dan kerja keras. (Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, Beirut: Dar el Kutb al-Taymiyyah, 1405H/1985M)

Al-Ghazali (1058-1111M) yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali memberikan kriteria terhadap akhlak yang mirip dengan Ibn Miskawaih, yaitu bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran yang mendalam atau penelitian terlebih dahulu. Akhlak bukan merupakan "perbuatan", bukan "kekuatan", bukan "ma'rifah" (mengetahui dengan mendalam). Yang lebih sepadan dengan akhlak itu adalah "hal" keadaan atau kondisi jiwa yang bersifat bathiniah".(Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid 2, Qairo, Mesir: Daar al-Taqwa, 2000, hlm.599)

Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang berarti to engrave atau mengukir. Membentuk karakter diibaratkan seperti mengukir di atas batu permata atau permukaan besi yang keras. Dari sanalah kemudian berkembang pengertian karakter yang diartikan sebagai tanda khusus atau pola perilaku (an individual’s pattern of behavior … his moral contitution) (Karen E. Bohlin, Deborah Farmer, Kevin Ryan, Building Character in School Resource Guide, San Fransisco: Jossey Bass, 2001, hlm.1)

Socrates (469-399 SM) menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang paling mendasar membentuk individu menjadi baik dan cerdas (good and smart). “Goodness is knowledge … to be good at something os a matter of knowledge". (G.M.A. Grube, Plato’s Thought , USA: Hackett Publishing Company, 1980, hlm. 216-217). Plato (428-348 SM), murid Socrates merefleksikan pemikiran gurunya untuk hal yang lebih makro dari sekedar kebajikan individu menjadi negarawan yang baik . Dalam bukunya yang terkenal, Republic, ia mengungkapkan idenya tentang pendidikan, bahwa agar anak dapat meraih kebenaran dan kebajikan diperlukan pedoman yang jelas moral agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan.

Aristoteles (384-322 SM), murid Plato juga mengarahkan pendidikan kepada kebajikan atau nilai (virtue) individu. Kebajikan atau nilai (virtue) itu mengandung dua aspek yaitu intelektual dan moral. “Intelectual virtue in the main owes both its birth and its growth to teaching, while moral virtue comes about as a result of habit.” (Charless Hummel, Aristotle, p.2).

Emile Durkheim (1858 –1917) seorang sosiolog dari Prancis mengatakan, bahwa masyarakat harus memiliki nilai-nilai yang baik sebagai kontribusi warisan moral. Lebih jauh ia mengatakan,“Society must have some good to achieve, an original contribution to bring to the moral patrimony of mankind. Idleness is a bad counselor for collectivities as well was individual. When individual activity does not know where to take hold, it turns against itself. When the moral forces of a society remain unemployed, when they are not engaged in some work to accomplish, they deviate from their moral sense and are used up in a morbid and harmful manner.”(Emile Durkheim, Moral Education, London: Free Press of Glencoe, 1973, p. 13)

Karakter atau kehancuran
Thomas Lickona seorang pendidik karakter dari Cortland University, dikenal sebagai Bapak Pendidikan Karakter Amerika. Ide-idenya diterapkan pada level pendidikan dasar dan mengengah. Lickona mengungkapkan, bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, jika memiliki sepuluh tanda-tanda zaman, yaitu, meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, membudayanya ketidak jujuran, sikap fanatik terhadap kelompok/peer group, rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, semakin kaburnya moral baik dan buruk, penggunaan bahasa yang memburuk, meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga negara, menurunnya etos kerja, dan adanya rasa saling curiga dan kurangnya kepedulian di antara sesama.(Thomas Lickona, Educating For Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility, New York:Bantam Books,1992 ,hlm 12-22).

Lickona mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral—yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan. Lebih jauh, Lickona menekankan tiga hal dalam mendidik karakter. Tiga hal itu dirumuskan dengan indah: knowing, loving, and acting the good. Menurutnya keberhasilan pendidikan karakter dimulai dengan pemahaman karakter yang baik, mencintainya, dan pelaksanaan atau peneladanan atas karakter baik itu.(Ibid, hlm.23).

Sebenarnya, secara materi, pendidikan karakter di sekolah-sekolah di Indonesia, sudah tercakup dalam pelajaran Pendidikan Agama dan sebagian pendidikan lainnya. Namun seperti halnya banyak mata pelajaran lainnya, mata ajaran itu masih lebih berorientasi pada pendekatan kognitif melalui hafalan dan ditujukan untuk perburuan nilai semata. Artinya pembelajaran masih berorientasi pada aspek perolehan pengetahuan semata secara akademik. Pendidikan dan pembelajaran terhadap proses perubahan tingkah laku anak didik masih terabaikan. Jika ini dibiarkan terus-menerus maka kesenjangan antara mengetahuan dan perilaku semakin melebar.

Written by Anita Syaharudin

Oleh karenanya diperlukan usaha yang serius untuk meninjau kembali antara teori pendidikan moral dan karakter yang diajarkan di sekolah, dan bagaimana praktek yang terjadi dalam keseharian siswa di sekolah. Teori, yaitu mencakup dimensi dan kurikulum pendidikan karakter apa saja yang diajarkan di sekolah, bagaimana kualifikasi atau kriteria pendidik yang semestinya, bagaimana hal tersebut diajarkan, bagaimana sistem penilaian keberhasilan pendidikan karakter tersebut. Lalu, lebih penting lagi, bagaimana praktek nyata dari teori-teori itu dalam bentuk perilaku guru dan siswa di sekolah.
Juga, yang terpenting, adalah keteladanan pemimpin dan guru. Guru harus bisa menjadi contoh. Jika guru gagal menjadi teladan, jangan heran, jika pepatah klasik berubah ekstrim: guru kencing berlari, murid bisa mengencingi gurunya.

Jika tiada kesungguhan keteladanan, maka Pendidikan Karakter hanya akan menjadi slogan dan menambah daftar panjang daftar kefrustrasian program pendidikan. Na’udzubillahi min dzalika

Kamis, 21 Oktober 2010

Islamisasi Kurikulum-2

Langkah-langkah mencapai Islamisasi Pengetahuan
Oleh Dr. Rosnani Hashim
Asisten Profesor pada Departemen Pendidikan di International Islamic University, Malaysia.
A. Menentukan Agenda
Langkah pertama islamisasi kurikulum yaitu memastikan bahwa sumber dari tujuan pendidikan diambil dari worldview Islam, yang meliputi sifat dasar pelajar, sifat dasar pengetahuan atau materi khusus, dan sesuai dengan kehidupan zamannya. Qur'an dan Sunnah harus dijadikan acuan dalam memahami sifat dasar pelajar dan ilmu pengetahuan, kemudian hasil penelitian empiris -terutama berkaitan dengan psikologi mata pelajaran dan pelajar, yang telah diterbitkan dan didokumentasikan yang berungsi sebagai pelengkap.
Langkah berikutnya adalah merumuskan suatu filsafat pendidikan yang jelas berdasar pada worldview Islam. Ini penting untuk dilakukan sebagai pemandu pendidikan bagi negara, pemimpin sekolah, para guru, orang tua dan siswa.
Tujuan yang jelas dan obyektif dari pendidikan harus dirinci. Yaitu berfungsi sebagai true North (utara yang sebenarnya) dari suatu kompas pendidikan dan sifatnya penting untuk menjamin bahwa keseluruhan pendidikan mengalami kemajuan dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan sehingga tidak mengembara ke mana-mana. Konsep hamba dan khalifah harus diterjemahkan ke dalam istilah-istilah operasional. Yang didalamnya mencakup kelanjutan kebijakan dan draf kurikulum yang dibuat sesuai dengan konsep penting ini. Hal ini berarti kurikulum pendidikan Islam tidak hanya ditujukan secara khusus untuk umat Islam, universitas Islam, pendidikan Islam, tetapi juga dapat diakomodasi oleh seluruh manusia.
Dalam semangat ini, Konferensi Dunia Islam tentang Pendidikan Muslim Pertama, sebaiknya mengusulkan suatu pernyataan yang jelas tentang filsafat Islam dalam bidang pendidikan dengan tujuan:
Untuk keseimbangan antara perkembangan kepribadian manusia yang utuh melalui pelatihan ruhani, akal, diri yang berakal, pikiran dan jasmani yang sehat. Pelatihan yang disampaikan kepada kaum Muslim harus betul-betul dilandasi iman yang ditanamkan ke dalam keseluruhan kepribadiannya sehingga membuatnya mencintai Islam dan memungkinkannya mengikuti Qur'an dan Sunnah. Dengan sepenuh hati mau diatur oleh nilai-nilai sistem Islam sehingga ia mulai dapat mewujudkan statusnya sebagai wakil Allah di bumi ini [1]
Langkah yang ketiga yaitu bahwa kurikulum universitas atau sekolah harus mencerminkan filsafat pendidikan, yang dalam praktenya tetap melalui mekanisme untuk meraih tujuannya. Secara khusus, hirarki ilmu pengetahuan (antara fardu 'an dan fardu kifayah) harus dipelihara di dalam kurikulum. Ilmu pengetahuan yang berasal dari wahyu yang berfungsi sebagai ruh harus disebarkan ke seluruh mata kuliah pada semua fakultas di universitas Muslim. Oleh karena itu, beberapa mata pelajaran ilmu pengetahuan yang berasal dari wahyu harus menjadi persyaratan kelulusan bagi semua siswa, tanpa mengabaikan spesialisasi mereka.
Pendekatan pengajaran ilmu pengetahuan ini di universitas seharusnya berbeda dengan di sekolah-sekolah, karena mahasiswa lebih dewasa, mampu merefleksikan dan berpikir. Dengan cara yang sama, beberapa mata pelajaran pengetahuan yang diperoleh dari belajar seperti ilmu pengetahuan alam, ilmu-ilmu sosial, dan humanisme harus diberikan kepada siswa, terlebih ilmu pengetahuan yang berasal dari wahyu. Sebuah kurikulum yang lebih terintregasi, tetapi masih memiliki sebuah inti (ilmu dari wahyu), harus diadopsi oleh sekolah-sekolah dan universitas sehingga permasalahan dualisme pendidikan secara berangsur-angsur terhapus.
Kurikulum yang terintregasi memungkinkan siswa secara bersamaan menguasai ilmu yang didapat dari wahyu dan ilmu yang didapat dari dalam sistem sekolah. Upaya ini bisa dilakukan dengan cara memperkenalkan bahasa Arab lebih awal dalam kurikulum formal, karena ia adalah bahasa universal dan bahasa umat Islam.
B. Isi dan metode
Ilmu pengetahuan, berbagai hal yang pokok, atau mata pelajaran yang ditawarkan di dalam kurikulum harus bebas dari unsur-unsur sekuler dan westernized sebagai unsur asing dalam Islam. Unsur-unsur tersebut -dualisme, humanisme, sekularisme -yang secara khusus milik Barat dan anti Islam, harus dibuang dari kurikulum kita lalu diganti dengan Islamic worldview yang bersifat tauhidi. Kurikulum itu harus memperkuat konsep-konsep Islam sebagai berikut:
1. Pandangan Islam tentang Penciptanya (tauhid, iman dan sifat-sifat Allah);
2. Penciptaan manusia dan tujuannya, yakni untuk menyembah Allah, untuk menjadi khalifah Nya, untuk mengajak kepada kebaikan dan melarang kejahatan, dan untuk menyebarkan ajaran islam.
3. Hubungan manusia dengan Penciptanya, yaitu kesadaran dari nya Allah, tanggung-jawab ke Allah, untuk berbuat baik perbuatan-perbuatan, menyembah dan memohon kepada-Nya;
4. Hubungan manusia dengan lainnya, untuk membangun keadilan, untuk memiliki rasa hormat seumur hidup, harta, dan martabat, untuk mengembangkan ahlaq dan untuk menunjukkan toleransi beragama.
5. Hubungan manusia dengan lingkungan yang menekankan perannya sebagai wakil Allah, yang akan bekerja bersama demi keselarasan dengan semua ciptaan Allah, dan untuk mengenali atau menemukan Allah melalui ciptaan-Nya;
6. Pengembangan diri, dengan menyiapkan tempat untuk intropeksi diri dan belajar dari kekeliruan-kekeliruan masa lampau;
7. Tujuan manusia, yang ,untuk memnunjukkan tanggung-jawab dengan mengevaluasi peran kita, memahami hari akhir dan dampak-dampak mereka.
8. Pengembangan etos Islam agar tercipta satu lingkungan yang bermanfaat untuk mempraktekkan Islam. [2]
Oleh karena itu, wajib bagi para guru Muslim untuk menanamkan konsep-konsep Islam sebagaimana disebut di atas kepada para siswanya, dengan mengenyampingkan sejenak materi pelajaran yang sedang mereka ajarkan.
Menanamkan konsep-konsep dan nilai-nilai ini secara tidak langsung melalui mata pelajaran, terutama pelajaran ilmu eksakta seperti matematika atau akuntansi, tidaklah mudah[3] Oleh karena itu, para guru harus menanamkan secara langsung dengan cara bijaksana, terutama saat situasi kelas memungkinkan. Tugas ini tidak harus dibebankan kepada guru agama Islam.
Guru dan bagian administrasi bidang pendidikan harus menyediakan pelajaran terapan, khusunya bagi pelajaran moral dan pengembangan rohani.
Metode-metode baru pengajaran harus dieksplor dan guru atau dosen harus inovatif dan kreatif. Pengajaran ilmu pengetahuan agama tidak boleh terlalu bergantung pada metoda-metoda tradisional, seperti penghafalan teks-teks klasik, meski pelajaran tertentu perlu dihafalkan. Para siswa harus diarahkan pada proses belajar, termasuk metode latihan dan pemecahan masalah bukan hanya pada hasil. Oleh karena itu, mereka perlu dibimbing untuk memiliki sikap kritis dan berfikir sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam Qur'an.
Ada sebuah keseimbangan yang harus ditemukan berkaitan dengan pendekatan siswa dengan mata pelajaran. Berkaitan dengan hal ini, pendekatan terhadap pendidikan guru yang selaras dengan filsafat pendidikan harus dikembangkan. Program pendidikan guru sebelum mengajar dan ketika mengajar- juga perlu dilakukan dalam rangka pengembangan kepribadian guru, khususnya berkaitan moral dan rohani, yang hampir terabaikan. Guru merupakan komponen paling penting dalam melakukan perubahan-perubahan di dalam pendidikan, dan mereka seharusnya mengetahui dan mampu melihat arah pendidikan yang baru. Program pendidikan guru sebelum bertugas nampaknya hanya ditekankan pada ketrampilan-ketrampilan berfikir dan pengusaaan teknologi informasi tetapi lemah dalam masalah esensi dasar pengembangan pendidikan dan kepribadian,yaitu moral dan spiritual [4]

C. Evaluasi Pendidikan
Evaluasi merupakan suatu cara yang sangat baik untuk menjelaskan sasaran pendidikan. Ia merupakan proses untuk mengenali seberapa jauh pelajaran mengalami perkembangan dan benar-benar termanage sehingga mendapatkan hasil yang diinginkan. Proses evaluasi diantaranya mengidentifikasi kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan dari perencanaan. (5]
Evaluasi merupakan proses untuk mengetahui tingkat perubahan mengenai tingkah laku yang terjadi sebenarnya [6] Oleh karena itu penting untuk membuang dugaan bahwa evaluasi hanya sekedar percobaan melalui "kertas dan pensil". Evaluasi juga merupakan suatu kekuatan motivasi untuk belajar. Para siswa dipengaruhi pada pelajaran mereka, dan para guru dipengaruhi dalam pengajaran mereka oleh jenis evaluasi yang diharapkan.
Sebagai konsekwensinya, kecuali jika prosedur evaluasi sejajar dengan tujuan kurikulum pendidikan, prosedur evaluasi itu dapat menjadi fokus perhatian siswa bahkan guru ketimbang rancangan tujuan kurikulum [7]
Hal ini benar, terutama berkenaan dengan tujuan moral dan rohani. Kita mengharapkan banyak perubahan dalam tingkah laku siswa, tetapi sayangnya, para siswa hanya sering mencetak prestasi dalam ujian tertulis tetapi tidak menunjukkan sikap moral yang diharapkan. Bila demikian, maka kurikulum harus ditinjau kembali berkaitan dengan pelajaran yang diberikan kepada mereka,berkaitan dengan metoda pengajaran, dan model aturan evaluasi.

[1] S. M. Naquib alAttas (ed), Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdulaziz University, 1979), 158-9. Italics added.
[2] Aku berhutang kepada orang yang mempersiapkan dan membagi-bagikan daftar ini selama Konferensi Dunia Yang Keenam di Pendidikan Islam di Kota Capetown, Selatan Afrika, 19-25 September 1996.
[3] See Rosnani Hashim, "Penyerapan Nilai Murni dalam KBSM" (The Inculcation of Moral Values in the Integrated Curriculum for Secondary Schools [KBSM]), paper presented at the National Seminar on Evaluation of the KBSM, Aminuddin Baki Institute, Layang Layang, Malaysia, 1997.
[4] Program pendidikan guru IIUM memberikan perhatian yang istimewa kepada dua hal tersebut yaitu kepribadian guru melalui program halaqah dan perkemahan ibadah. Di halaqah, para siswa diatur di dalam kelompok 10 dan masing-masing kelompok bertemu seminggu sedikitnya satu jam seperti yang dijadwalkan dalam kelas mereka untuk mendiskusikan topik-topik yang ditentukan dalam ilmu syariah dan kelompok konseling. Di dalam perkemahan ibadah, yang secara normal selama tiga hari di mana siswa mendengarkan ceramah, , mengambil bagian dalam workshop, melakukan shalat , membaca wirid malsurat dan membaca qur'an, kemudian shalat lail. Lihat Rosnani Hashim, The Relevance and Effectiveness of the IIUM Diploma in Education Programme as Perceived by Student Teachers in the 1994/95 Session, unpublished research report. See also M. Sahari Nordin and Rosnani Hashim, "Non-formal Curriculum Programme in IIUM Diploma in Education Programme," paper presented at National Seminar on Teacher Education, Faculty of Education, University Putra Malaysia, 1997.
[5] Ralph W. Tyler, The Curriculum - Then and Now, in Proceedings of the 1956 Invitational Conference on Testing Problems (Princeton, N.J.: Educational Testing Service, 1957), 79, quoted in Daniel Tanner and L. N. Tanner, Curriculum Development: Theory into Practice (New York: Macmillan Publishing Co, 1980), 103.
[6] Ibid., 106.
[7] Ibid., 124.

Islamisasi Kurikulum

Oleh Dr.Rosnani Hasyim
Asisten Profesor pada Departemen Pendidikan di International Islamic University, Malaysia.
Desain kurikulum secara fundamental tergantung pada filosofi pendidikan.
Tulisan ini didasari dua argumen penting yang menunjukkan bagaimana pentingnya desain kurikulum bagi ahlak dan kesejahetraan sosial seseorang maupun masyarakat. Setelah itu, tulisan ini menunjukkan bahwa desain kurikulum secara fundamental tergantung pada filosofi pendidikan. Tanpa filsafat pendidikan yang bisa memberi moral bagi perorangan maupun masyarakat, akan sulit mengidentifikasi unsur dasar yang dapat dijadikan sandaran desain kurikulum. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi elemen-elemen dasar dari sebuah filosofi dari pendidikan Islam dan daripadanya memperoleh inti masalah kurikulum pendidikan Islam. Karya ini juga membahas beberapa strategi untuk mengintegrasikan pengetahuan yang diungkapkan dan ilmu yang didapat dari universitas dan sekolah Islam.
Telah diakui oleh pendidik di seluruh dunia bahwa pelayanan pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu perorangan dan masyarakat. Melalui pendidikan yang baik, potensi seseorang yaitu fisik, intelektual, moral, spiritual, dan emosional, dapat diolah dan dikembangkan. Dalam hal ini, Socrates menunjuk seorang guru sebagai bidan karena perannya mengambil sesuatu yang sudah ada pada anak. Tentu saja, bagaimana selanjutnya sangat bergantung pada keterampilan dan kemampuan guru.
Pendidikan juga punya peranan penting lain, untuk memberi dan mengubah nilai-nilai budaya, dan warisan dari masyarakat tertentu. Pendidikan disebut hanya berperan secara konservatif jika hanya mentransfer nilai-nilai budaya dan kepercayaan dari satu ke generasi ke generasi berikutnya. Padahal juga bisa memainkan peranan yang lebih radikal ketika mencoba mereformasi masyarakat. Secara umum, pendidikan memainkan keduanya yaitu konservatif dan radikal dalam kemajuan peradaban.
Pendidikan adalah proses seumur hidup. Hadits Nabi Muhammad yang terkenal memerintahkan orang beriman untuk "mencari ilmu dari buaian ibu sampai liang lahat." Baru-baru ini, dunia medis modern telah menunjukkan bahwa seorang anak juga dapat menerima stimulus dari luar ketika masih berbentuk embrio. Dengan demikian, potensi belajar bisa dimulai dari beberapa bulan setelah pembuahan.
Pendidikan sendiri mempunyai tiga tipe: informal, formal dan nonformal. Rumah merupakan lembaga paling penting dari pendidikan informal. Di dalamnya, pelajaran berlangsung dalam satu cara yang tidak langsung dan tidak tersusun. Ini merupakan "sekolah" pertama, dan ibu adalah "guru." Sekolah merupakan lembaga pembelajaran penting untuk pendidikan formal. Di dalamnya, pengalaman belajar disusun secara sistematis dan terorganisir untuk mencapai hasil pembelajaran yang khusus. Pendidikan formal, kurikulum sekolah dan guru sekolah sangat penting sebagai fasilitator pembelajaran. Selanjutnya, pembelajaran nonformal, yaitu pendidikan melalui lembaga atau organisasi lain selain sekolah formal, misalnya kelas-kelas melek huruf bagi orang dewasa.
Pendidikan mencakup berbagai masalah. Karena itu, tidak mengherankan jika umat Islam telah konsisten dingatkan oleh para ulama bahwa persoalan pendidikan meruapakan hal yang mendasar. Sebagain ulama punya alasan bahwa sebagai sebuah disiplin, pendidikan terdiri dari lima subdisiplin, yaitu kurikulum, konseling, manajemen, pengajaran, dan evaluasi (1). Artikel ini merupakan upaya untuk menguji kurikulum, sebagai salah satu subdisiplin.
Kurikulum sangat penting sehingga ia disebut sebagai ratu ilmu pendidikan. Kurikulum merupakan cerminan dari filosofi pendidikan dari institusi yang bersangkutan, berkaitan dengan fakta, mekanisme oleh tujuan yang akan dicapai.
Bersambung………….
[1] Lihat Hasan Langgulung, "Islamisasai Pendidikan dari Perspektif Metodologi" (Islamization of Education from the Methodological Perspective), paper presented at the National Seminar on Islamization of Education, Department of Education, International Islamic University Malaysia, Kuala Lumpur, July 14-16, 1998.

Jumat, 15 Oktober 2010

Merancang Strategi Pendidikan Islam Masa Depan

Ainul Yaqin
1. Pendahuluan
Tujuan pokok dari pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, hasil yang ingin dicapai dari pendidikan Islam adalah menciptakan manusia beradab dalam pengertian yang menyeluruh meliputi kehidupan spiritual dan material. Orang yang terpelajar dalam pandangan Islam adalah orang yang beradab, yaitu orang yang menyadari sepenuhnya tanggungjawab dirinya kepada Allah, memahami dan menunaikan keadilan terhadap diri sendiri dan orang lain dalam masyarakat, dan terus berupaya untuk meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.
Berangkat dari pengertian di atas ada dua misi yang harus ditempuh dalam pendidikan Islam, pertama menanamkan pemahaman Islam secara komprehenship agar peserta didik mampu mengetahui ilmu-ilmu Islam sekalugus mempunyai kesadaran untuk mengamalkannya. Pendidikan Islam tidak semata-mata mengajarkan pengetahuan Islam secara teoritik sehingga hanya menghasilkan seorang islamolog, tetapi pendidikan Islam juga menekankan pada pembentukan sikap dan perilaku yang islami dengan kata lain membentuk manusia Islamist. Kedua, memberikan bekal kepada peserta didik agar nantinya dapat berkiprah dalam kehidupan masyarakat yang nyata, serta suvive menghadapi tantangan kehidupan melalui cara-cara yang benar.
Untuk kepentingan ini, pendidikan Islam harus mampu mengakses perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Pendidikan Islam tidak boleh mengasingkan diri dari realitas kehidupan yang senantiasa berkembang dan terus berubah sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Maka dalam kerangkan ini dituntut adanya stategi dan taktik dalam mengelola pendidikan Islam. Strargei ini mutlak harus disiapkan agar pendidikan Islam tidak terlibas oleh hegemoni perubahan itu sendiri.
2. Visi dan Orientasi Pendidikan Islam
Menurut Abuddin Nata, dapat dijumpai sekurang-kurangnya delapan penyakit yang menimpa masyarakat modern. Pertama desintegrasi antar ilmu pengetahuan (spesialisasi yang terlampau kaku) yang berakibat pada terjadinya pengkotak-kotakannya akal fikiran manusia dan cenderung membingunkan masyarakat. Kedua, kepribadian yang terpecah (splite personality) sebagai akibat dari kehidupan yang dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang terlampau terspesialisasi dan tidak berwatak nilai-nilai ketuhanan. Ketiga dangkalnya rasa keimanan, ketaqwaan, serta kemanusiaan, sebagai akibat kehidupan yang terlampau rasionalistik dan individualistik. Keempat, timbulnya pola hubungan yang materialistik sebagai akibat dari kehidupan yang mengejar duniawi yang berlebihan. Kelima, cenderung menghalalkan segala cara, sebagai akibat dari paham hedonisme yang melanda kehidupan. Keenam, mudah stres dan frustasi, sebagai akibat dari terlampau percaya dan bangga terhadap kemampuan dirinya, tanpa dibarengi sikap tawakal dan percaya pada ketentuan Tuhan. Ketujuh, perasaan terasing di tengah-tengah keramaian (lonely), sebagai sifat individualistik, dan kedelapan kehilangan harga diri dan masa depannya, sebagai akibat dari perbuatan yang menyimpang.
Ke- delapan pont yang dikemukakan oleh Abuddin Nata tersebut merupakan akibat dari kehidupan yang telah begitu jauh terhegemoni oleh budaya global yang didominasi oleh peradaban Barat. Sekularisasi ilmu pengetahuan adalah ciri khas dari peradaban Barat yang sekuler dan liberal. Demikian juga munculnya sifat hedonistik dan individualistik merupakan implikasi dari kapitalisme yang materialistik.
Dampak globalisai yang begitu kuat harus diantisipasi oleh dunia pendidikan khususnya Islam jika tidak ingin terlibas oleh arus hegemoniasi budaya global Barat. Dalam konteks ini, pendidikan harus mampu menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang tangguh yang tidak sekedar sebagai penerima arus informasi global, tetapi juga harus memberikan bekal kepada mereka agar dapat mengolah, menfilter, menyesuaikan dan mengembangkan segala hal yang diterima melalui arus informasi itu tanpa terhegemoni oleh kekuatan eksternal.
Berkenaan dengan hal di atas para pengelola pendidikan Islam harus menyadari terhadap ancaman ini. Orientasi pendidikan Islam yang sejak awal tidak semata-mata menekankan pada pengisian otak, tetapi juga pengisian jiwa, pembinaan akhlaq dan kepatuhan dalam menjalankan ibadah tidak boleh bergeser. Disamping itu juga harus dipikirkan upaya menciptakan manusia yang kreatif, inovatif produktif dan mandiri sehingga mempunyai ketegaran dalam menghadapi tantangan tanpa mudah terhegemoni. Visi pendidikan Islam harus mengintegrasikan berbagai pengetahuan yang terkotak-kotak ke dalam ikatan Tauhid. Di samping itu pendidikan Islam harus mampu memberikan filter dan arahan dalam penyerapan ilmu pengetahuan yang tidak sesuai dengan kaidah Islam.
3. Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Ide Islamisasi ilmu pengetahuan atau lebih tepatnya Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer lahir berangkat dari premis bahwa ilmu pengetahuan kontemporer tidak bebas nilai dan tidak universal. Prof. M. Naquib Al-Attas yang selama ini sebagai penggagas konsep Islamisisasi Ilmu Pengetahuan sebelum gagasan ini dipopulerkan oleh Ismail al-Faruqi, menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan modern sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat, yang mencerminkan kesadaran dan pengalaman Barat.
Sejalan dengan Al-Attas, Al-Faruqi menjelaskan bahwa klaim Barat yang mengatakan sains kemanusiaannya bersifat saintifik disebabkan sifatnya yang netral yakni sengaja menghindari dari pertimbangan dan kecenderungan manusia dengan menganggap fakta sebagai fakta dan membiarkan berbicara untuk dirinya sendiri adalah klaim yang kosong dengan kata lain bohong, karena tidak terdapat satu persepsi teoritis bagi segala fakta tanpa persepsi ciri dan hubungan aksiomanya.
Pemikiran Barat yang paling banyak mempengaruhi terhadap kelahiran ilmu pengetahuan modern adalah pemikiran sekularisme dan materialisme. Sekularisasi di sini melibatkan tiga komponen terpadu; “penolakan unsur transenden dalam alam semesta, memisahkan agama dari politik, dan nilai-nilai yang tidak mutlak atau relatif, artinya penolakan terhadap adanya nilai-nilai yang mutlak”. Pemikiran ini mempengaruhi konsep, penafsiran, dan makna ilmu itu sendiri.
Samsul Nizar mengidentifikasi ciri metode sains Barat; antara lain pertama, rasionalisme filosofis yang hanya merupakan persepsi inderawi; kedua, rasionalisme sekular yang cenderung lebih bersandarkan pada pengalaman inderawi dan menyangkal otoritas serta intuisi, serta menolak wahyu dan agama sebagai sumber ilmu yang benar; ketiga, empirisme filosofis yang menyandarkan seluruh ilmu pada fakta-fakta yang dapat diamati, bangunan logika dan analisis bahasa, dan menelantarkan aspek non empiris sebagai zat supranatural; keempat, sistem etika Barat bercorak antroposentris yaitu menempatkan manusia sebagai pusat dari segala-galanya sebagai sosok individu yang merdeka tanpa batas. Ciri-ciri tersebut sangat berbeda dengan metode sains Islam yang mengakui otoritas, intuisi, dan wahyu sebagai sumber ilmu. Demikian juga etika Islam bercorak teo-antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pelaku sejarah yang sekaligus sebagai makhluk Tuhan.
Metode sains Barat yang sekular tersebut bukan saja bertentangan dengan fitrah manusia yang merupakan worldview Islam, tetapi juga memutus ilmu dari pondasinya dan mengalihkannya dari tujuannya yang hakiki. Ilmu yang bermasalah ini dapat membawa pada kekacauan dalam kehidupan manusia dan bukan kedamaian dan keadilan. Ilmu yang nampaknya benar tetapi lebih produktif ke arah kekeliruan dan skeptisme.
Atas dasar inilah ilmu pengetahuan kontemporer tidak bisa diadopsi begitu saja tanpa disibghah dengan nilai-nilai Islam. Tugas Islamisasi ilmu menurut Al-Attas mencakup; pengujian kritis terhadap metode-metode sains modern, konsep-konsep, perkiraan-perkiraan, lambang-lambangnya, aspek empiris dan rasionalnya, serta apa saja yang mengenai nilai-nilai dan etika, tafsiran tentang asal muasal, teori tentang ilmu, perkiraan mengenai dunia eksternal, keseragaman alam, dan kerasionalan proses-proses natural, serta teorinya tentang jagad raya, klasifikasi sains, batasan-batasan dan saling hubungan antara sains dengan lainya dan hubungannya-hubungan sosial. Sedangkan menurut Al-Faruqi, islamisasi dapat dicapai melalui pemaduan ilmu baru ke dalam khazanah Islam dengan membuang, menata, menganalisis, menafsirkan ulang, dan menyesuaikannya menurut nilai dan pandangan Islam.
Cakupan Islamisasi ilmu di atas menunjukkan bahwa Islamisasi ilmu utamanya adalah urusan epistemologi dan metodologi, dan bekerja menciptakan ilmu baru melalui penggabungan ilmu dengan cara tertentu berdasarkan sumber-sumber Islam dan dihasilkan melalui metode-metode riset dan teori yang membangun usaha, ditujukan untuk memulihkan kegiatan saintifik secara umum dan sain sosial secara khusus, untuk memperbaiki jalur penggabungan antara wahyu dan observasi nyata, ia ini bukanlah proses penambahan dan pengurangan secara sepele tetapi sebuah proses penyandingan kreatif yang serius.
4. Penguatan Woldview Islam
Telah dimaklumi bahwa problem utama dari ilmu pengetahuan kontemporer adalah problem wodlview. Adopsi pengetahuan modern tanpa memperhatikan aspek voldwiew jelas akan menghasilkan keterkikisan.
Istilah woldview menurut Alparslan Acikgence sebagaimana dikutip oleh Hamid Fahmi Zarkasyi diartikan sebagai asas yang melandasi setiap aktifitas manusia termasuk aktifitas ilmiyah dan teknologi. Sedangkan Islamic woldview menurut Al-Attas diartikan sebagai pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati dan menjelaskan hakekat wujud. Dari woldview inilah akan lahir ilmu pengetahuan.
Penguatan woldview berarti penguatan pemahaman terhadap Islam dalam arti seutuhnya. Islam dijadikan sebagai tolok ukur dalam setiap aktivitas dan gerakan. Islam sebagai landasan berfikir, bertindak dan beramal, termasuk didalamnya sebagai landasan dalam menjelajah pengetahuan. Dengan ini pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang terarah sesuai dengan visi dan misi Islam.
5. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam
Peran lembaga pendidikan Islam adalah pelaksana operasional dalam menjalankan fungsi pendidikan Islam. Dengan demikian misi lembaga pendidikan Islam harus sejalan dengan misi pendidikan Islam yakni membentuk manusia beradab yaitu manusia yang sadar atas hak dan kewajiban atas Tuhannya, atas dirinya dan atas lingkungannya. Karena itulah manajemen pendidikan Islam harus berangkat dari pemikiran bagaimana menciptakan manusia beradab.
Dalam kerangka mengemban misi pembentukan manusia beradab, ada tawaran yang bisa diadobsi dalam opersionalisasi Lembaga Pendidikan Islam, yaitu manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) atau School Based Manajement (SBM). Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dsb.) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku (Catatan: MPMBS tidak dibenarkan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku). Esensi MPMBS= otonomi sekolah + fleksibilitas + partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Otonomi di sini diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Sedangkan fleksibilitas, dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dsb.) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Konsep MPMBS ini patut diterima oleh lembaga pendidikan Islam di Indonesia terkait dengan kenyataan bahwa kebijakan pendidikan selama ini terlalu banyak dicampuri oleh kepentingan politik penguasa khususnya penguasa Orde Baru. Kebijakan pendidikan orde baru yang cenderung bersifat homogenisasi serta berorientasi pada teknologi pendidikan telah melenyapkan kekhasan dari lembaga pendidikan Islam. Karena itulah tawaran MPMBS adalah mengembalikan Lembaga Pendidikan Islam pada habitat semula dengan segala kekhasannya. Dengan MPMBS lembaga pendidikan Islam di Indonesia seharusnya dapat menata diri sesuai dengan visi dan misi yang diembannya.
6. Kilas Balik
Setelah mencermati kerangka ideal strategi pengelolaan organisasi pendidikan Islam patut kiranya menelaah kondiri lembaga pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini. Kondisi organisasi pendidikan Islam di Indonesia masih belum sembuh dari kondisi patologis baik yang disebabkan oleh pengaruh global yang didominasi oleh peradaban Barat, maupun kondiri lokal akibat dari kebijaksanaan pendidikan Orde Baru yang sentralistik. Kondisi patologis tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
a. Masih kuatnya pola dikotomi ilmu agama dan umum yang merupakan ciri khas dari pengembangan ilmu yang dipengaruhi oleh woldview Barat yang sekularistik. Hal ini tampak sekali dari adanya sistem penjurusan yang yang mengelompokkan kedalam jurusan agama dan umum. Jurusan agama seolah-olah terlepas dari umum dan sebaliknya. Hal ini sangat berbeda dengan pengajaran ilmu dalam tradisi Islam yang tidak mengenal dikotomi ini. Pengajaran ilmu dalam Islam disusun secara hierarkis yang dikenal dengan ilmu wajib a’in dan ilmu wajib kifayah. Setiap peserta didik akan menerima pengajaran ilmu wajib a’in sedangkan ilmu wajib kifayah adalah spesialisasi. Konsep wajib a’in dan wajib kifayah ini bukanlah konsep dikotomi, tetapi lebih kepada skala prioritas.
b. Dalam beberapa hal telah dilakukan upaya pengintegrasian, tetapi sifatnya masih artifisial, tambal sulam, dan tidak integral. Hal ini terlihat dari kebijakan beberapa lembaga pendidikan tinggi Islam antara lain IAIN dan STAIN yang membuka tidak hanya jurusan agama tetapi juga umum, demikian juga dengan bermunculan sekolah-sekolah Islam di tingkat menengah dan dasar. Namun, keberadaan jurusan-jurusan yang bersangkutan masih terpaku pada jebakan dikotomi ilmu. Walaupun pendidikan umum yang dikelola oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam baik tingkat perguruan tinggi maupun di tingkat yang lebih bawah memiliki ciri muatan pengetahuan agama lebih banyak tetapi belum terdapat pengintegrasian ilmu secara metodologis lebih-lebih epistemologis. Hal ini terlihat sekali bahwa ilmu pengetahuan umum masih berjalan seperti wujud semula tidak diislamisasi. Berbagai teori-teori ilmu pengetahuan kontemporer diadopsi begitu saja tanpa dikritisi. Bahkan dalam pengkajian filsafat ilmu yang banyak bersentuhan dengan epistemologi yang merupakan teori ilmu yang sangat mendasar ternyata masih secara utuh diadopsi dari teori-teori Barat tanpa pengkritisan.
c. Kondisi lebih parah justru terletak pada pola metode studi Islam terutama diperguruan tinggi. Studi Islam yang semestinya menjadi pondasi malah terhegemoni oleh metode studi Barat yang sekuler dan liberal. Akibatnya, pendidikan Islam yang semestinya menghasilkan manusia-manusia yang bertaqwa tetapi yang terjadi malah menciptakan orang-orang yang ragu pada ajaran agama. Contoh adalah penggunaan hermeneutika khususnya dalam studi Al-Qur’an yang mampu menggeser keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci.
7. Kesimpulan
Tantangan globalisasi Barat yang hegemonik telah menimbuklan berbagai dampak yang serius pada masa depan pendidikan Islam. Realitas ini harus segera disadari oleh umat Islam dan lebih khusus lagi yang berkecimpung di dunia pendidikan. Untuk itulah perlu ada langkah taktis dan stategis yang bersifat antisipatif dan alternatif untuk membebaskan diri dari cengkeraman globalisasi Barat yang hegemonik. Langkah strategis itu meliputi; pemantapan visi dan misi yang berangkat dari penguatan pemahaman terhadap woldview Islam, Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, dan perbaikan sistem pengelolaan lembaga pendidikan Islam.(mm)
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Abrosyi, M. Athiyah, Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam (terjemahan KH Abdullah Zaky al-Kaaf), Pustaka Setia, Bandung, 2003
Al-A’zami, M.M., Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, Gema Insani, Jakarta, 2005
Armas, Adnin, Metodologi Bibel Dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani, Jakarta, 2005
Daud, Wan Mohd. Nor Wan, Filsafat dan Prektek Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Mizan, Bandung, 1998
Dirjen Dikdasmen Depdiknas, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, http://www.dikdasmen.depdiknas.go.id/html/plp/pdf/KONSEP_MPMBS.pdf. diakses 23/02/2006
Haneef, Aslam , Islamisasi Ilmu Ekonomi: Apa yang Salah, Jurnal Islamia, Vol 1 No. 6, 2005
Hashim, Rosnani, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer; Sejarah, Perkembangan, dan Arah Tujuan, Jurnal Islamia, Vol 1 No. 6, 2005
Husaini, Adian, Hegemoni Kristen-Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Gema Insani, Jakarta, 2006
Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Kencana, 2003
Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001
Al-Rubaie, Amer, ‘Globalisasi dan Posisi Peradaban Islam’, Jurnal Islamia Vol. 1 No. 4, 2005
Yaqin, Ainul, dkk, Bunga Rampai Petunjuk Produk Halal, LPPOM MUI-MUI Prop. Jatim, 2004
Zainuddin, dkk., Seluk-Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Bumi Aksara, Jakarta, 1991
Zarkasyi, Hamid Fahmi, Woldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, Jurnal Islamia Vol. 2 No. 5, 2005

Kamis, 14 Oktober 2010

Mengatasi Anak Bermasalah

Oleh : Imam Affandi, S.Psi, MM
“Buah jatuh tidak jauh dari pohonya” barangkali inilah yang tepat untuk mengilustrasikan tentang “pola asuh”. seperti kita ketahui bahwa pola asuh banyak dipengaruhi oleh berbagai elemen, seperti lingkungan dimana anak berinteraksi atau nilai-nilai yang diadopsi anak didalam diri dan kepribadianya semua itu akan menjadi suatu script dalam kehidupan anak.

Why? kenapa anak dianggap bermasalah? anak akan dianggap bermasalah manakala ia berbenturan dengan nilai dan norma yang dijadikan acuan oleh orangtua walaupun sesungguhnya nilai dan norma itu bersifat relatif.

When? kapan anak dianggap bermasalah?. anak bermasalah bukanlah anak yang “nakal”, “bodoh”, “main terus tidak pernah belajar”, “usil” dan segudang label lainnya yang seringkali diatributi pada “anak bermasalah”. Anak memunculkan suatu perilaku baru diluar perilaku kebiasaanya dan dianggap menggangu atau meresahkan orang disekitarnya

Where? anak bermasalah biasanya memunculkan suatu perilaku ketika situasi psikologisnya dirasakan tidak nyaman. perilaku itu akan muncul kapan saja tanpa perencanaan namun demikian masih dapat dikendalikan.

How? bagaimana mengatasi anak bermasalah? memukul, memarahi, mengurung anak dirumah dan sebagainya adalah “tindakan kejahatan terhadap anak”. anak bermasalah bukan untuk dihukum layaknya seorang terdakwa, akan tetapi anak bermasalah memerlukan suatu “teraphy” didalam penangananya. Teraphy disini bisa berupa teraphy pembentukan dan pembiasaan perilaku baru (new habbits teraphy) atau melalui konseling keluarga. tanpa dukungan, arahan dan ketauladanan yang dicontohkan orangtua kepada anak, anak akan selamanyamelakukan”modeling”. namun demikian ketika orangtua mengetahui bagaimana memerlakukan anak secara wajar sesuai dengan taraf usia pertumbuhan dan perkembangan psikologis anak maka benturan nilai-nilai tidak akan terjadi

jadi, jangan pernah memarahi anak tanpa suatu alasan yang edukatif apabila anda menginginkan anak menuruti kemauan Anda. akan tetapi melalui pemahaman dan ketauladan sikap anak akan memodeling perilaku tersebut secara positif dalam kehidupannya.

Jumat, 13 Agustus 2010

Kegiatan Romadhon Bersama Wali Murid SD IT Logaritma

. Salah satu kegiatan amaliah romadahan SD IT Logaritma Karanganyar adalah Romadhon Bersama Wali Murid. Kegitan ini dilaksanakan pada hari kamis tanggal 13 Agustus Bertempat diaula SD IT Logaritma. Kegiatan tersebut dimasudkan sebagai wahana silaturahmi antar walimurid dan sekolah di samping sebagai peningkatan keilmuan dan keimanan.

Selasa, 10 Agustus 2010

Pendidikan Konsep Ta’dib Sebagai Solusi Pendidikan Islam di Era Global


oleh: Kholili Hasib[1]
Pendahuluan
Ta’dib adalah konsep pendidikan Islam yang digagas oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang bertujuan mencetak manusia beradab. Ide al-Attas tersebut dilatarbelakangi oleh krisis ilmu yang dialami kaum muslim kontemporer. Menurut al-Attas, tantangan terbesar yang dihadapi dunia muslim kontemporer adalah kesalahan dibidang ilmu. Hal tersebut mengakibatkan hilangnya adab (the loss of adab). Kehilangan adab di sini maksudnya kehilangan identitas, identitas ilmu-ilmu keislaman dan identitas ilmuan muslim. Definisi sains Islam di era globalisasi semakin kabur, tertutup selimut ilmu-ilmu modern-sekuler. Lenyapnya identitas ilmu Islam tersebut dikarenakan gencarnya hegemoni Barat sekuler yang gerakaannya seiring dengan gelombang globalisasi.
Untuk menjawab tantangan tersebut, al-Attas menggagas proyek Islamisasi ilmu pengetahuan. Proyek besar tersebut memerlukan perangkat-perangkat yang kuat. Oleh karena itu, pendidikan Islam – sebagai basis utama mega proyek tersebut – harus mampu mencetak manusia beradab. Yakni manusia yang berpandangan hidup Islam dan menguasai ilmu-ilmu Islam secara integratif. Gagasan melahirkan manusia yang beradab tersebut diwujudkan dengan pendidikan konsep ta’dib sebagai formula pendidikan Islam yang ideal dan integratif. Tulisan ini akan membahas urgensi dan peran pendidikan konsep ta’dib dalam Islamisasi Ilmu pengetahuan untuk menjawab krisis ilmu di era globalisasi.

Pendidikan Konsep Ta’dib
Konsep ta’dib yang digagas al-Attas adalah konsep pendidikan Islam yang bertujuan menciptakan manusia beradab dalam arti yang komprehensif. Pengertian konsep ini dibangun dari makna kata dasar adaba dan derivasinya. Makna addaba dan derivasinya, bila maknanya dikaitkan satu sama lain, akan menunjukkan pengertian pendidikan yang integratif[2]. Di antara makna-makna tersebut adalah, kesopanan, keramahan, dan kehalusan budi pekerti[3]. Makna ini identik dengan akhlak. Adab juga secara konsisten dikaitkan dengan dunia sastra, yakni adab dijelaskan sebagai pengetahuan tentang hal-hal yang indah yang mencegah dari kesalahan-kesalahan[4]. Sehingga seorang sastrawan disebut adiib. Makna ini hampir sama dengan definisi yang diberikan al-Jurjani, yakni ta’dib adalah proses memperoleh ilmu pengetahuan (ma’rifah) yang dipelajari untuk mencegah pelajar dari bentuk kesalahan[5].

Kata ta’dib adalah mashdar dari addaba yang sebenarnya secara konsisten bermakna mendidik. Berkenaan dengan hal itu, seorang guru yang mengajarkan etika dan kepribadian tersebut disebut juga mu’addib[6]. Setidaknya ada tiga derivasi dari kata addaba, yakni adiib, ta’dib, muaddib. Dari gambaran tersebut dapat dikatakan, keempat makna itu saling terikat dan berkaitan. Seorang pendidik (muaddib), adalah orang yang mengajarkan etika, kesopanan, pengembangan diri atau suatu ilmu (ma’rifah) agar anak didiknya terhindar dari kesalahan ilmu, menjadi manusia yang sempurna (insan kamil) sebagaimana dicontohkan dalam pribadi Rasulullah SAW[7]. Cara mendidiknya perlu dengan menggunakan cara-cara yang benar sesuai kaidah, menarik dan indah – seperti seorang sastrawan yang menyuguhkan kata-kata dengan benar, indah dalam berpuisi.

Berdasarkan hal itu, al-Attas mendefinisikan adab dari analisis semantiknya, yakni, adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realita bahwasannya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hirearki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual dan spiritual[8]. Dalam hal ini, al-Attas memberi makna adab secara lebih dalam dan komprehensif yang berkaitan dengan objek-objek tertentu yaitu pribadi manusia, ilmu, bahasa, sosial, alam dan Tuhan[9]. Beradab, adalah menerapkan adab kepada masing-masing objek tersebut dengan benar, sesuai aturan.

Pada dasarnya, konsep adab al-Attas ini adalah memperlakukan objek-objek tersebut sesuai dengan aturan, wajar dan tujuan terakhirnya adalah kedekatan spiritual kepada Tuhan. Berkenaan dengan hal ini, maka adab juga dikaitkan dengan syari’at dan Tauhid. Orang yang tidak beradab adalah orang yang tidak menjalankan syari’at dan tidak beriman (dengan sempurna)[10]. Maka orang beradab menurut al-Attas adalah orang yang baik yaitu orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Hak, memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya dan orang lain dalam masyarakat, berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab[11].

Dari uraian singkat tersebut, bisa dikatakan bahwa makna beradab secara sederhana adalah, tidak berbuat dzalim. Maksudnya, orang beradab adalah orang yang menggunakan epistemologi ilmu dengan benar, menerapkan keilmuan kepada objeknya secara adil, dan mampu mengidentifikasi dan memilah pengetahuan-pengetahuan (ma’rifah) yang salah. Setelah itu, metode untuk mencapai pengetahuan itu harus juga benar sesuai kaidah Islam. Sehingga, seorang yang beradab (insan adabi) mengerti tanggung jawabnya sebagai jiwa yang pernah mengikat janji dalam Primordial Covenant[12] dengan Allah SWT sebagai jiwa bertauhid. Apapun profesi manusia beradab, ikatan janji itu selalu ia aplikasikan dalam setiap aktifitasnya[13]. Oleh sebab itu, istilah yang paling tepat untuk pendidikan Islam menurut al-Attas adalah ta’dib bukan tarbiyah atau ta’lim. Term tarbiyah tidak menunjukkan kesesuaian makna, ia hanya menyinggung aspek fisikal dan emosional manusia. Term tarbiyah juga diapakai untuk mengajari hewan. Sedangkan ta’lim secara umum hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif. Akan tetapi ta’dib sudah menyangkut ta’lim (pengajaran) di dalamnya[14]. Singkatnya, konsep ta’dib mengandung makna yang lebih komprehensif dan integratif daripada tarbiyah.

Konsep ta’dib adalah konsep pendidikan Islam yang komprehensif, karena aspek-aspek ilmu dan proses pencapainya mesti dicapai dengan pendekatana tawhidy dan objek-objeknya diteropong dengan pandangan hidup Islami (worldview Islam)[15]. Pendekatan tawhidy adalah pendekatan yang tidak dikotomis[16] dalam melihat realitas. Menurut al-Attas, pendidikan Islam bukanlah seperti pelatihan yang akan menghasilkan spesialis. Melainkan proses yang akan menghasilkan individu baik (insan adabi), yang akan menguasai pelbagai bidang studi secara integral dan koheren yang mencerminkan padandangan hidup Islam[17].

Model pendidikan yang menitikberatkan pada pelatihan cenderung menghasilkan individu pragmatis, yang aktifitasnya tidak mencerminkan pandangan hidup Islam. Ia hanya belajar untuk tujuan kepuasan materi. Padahal, pendidikan adalah proses panjang yang titik kulminasinya adalah kebahagaiaan akhirat. Maka, konsep ta’dib menfaikan itu. Target yang ingin dicapai dalam konsep ta’dib adalah penguasaan ilmu-ilmu itu mesti terselimuti oleh worldview Islam. Tidak ada dikotomi antara ilmu umum dan ilmu syar’i. Semua ilmu yang dipelajari, baik ilmu matematika, fisika, kimia, biologi, bahasa, sosial dan lain sebagainya, mesti mendapat asupan dengan ilmu syari’at.

Sehingga bisa dikatakan, integralisasi sains dan ilmu-ilmu humaniora dengan ilmu syar’i adalah inti utama konsep pendidikan ta’dib. Sebab dalam pandangan hidup Islam, aspek duniawi harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat adalah signifikasi yang final. Pandangan hidup Islam terbangun dari jaringan-jaringan konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, manusia, alam, ilmu, agama dan lain sebagainya. Manusia beradab menurut al-Attas adalah manusia yang sadar akan kedudukan dirinya di tengah realitas alam dan harus bisa berbuat selaras dengan ilmu pengetahuan secara positif, terpecaya dan terpuji[18].

Manusia yang beradab, akan melihat segala persoalan di alam ini dengan kacamata worldview Islam. Worldview Islam menjadi ‘pisau’ analisa setiap persoalan keduniawiyan. Sebagaimana dinyatakan al-Attas, insan adabi itu harus berbuat selaras dengan ilmu pengetahuan secara positif. Yakni, seorang manusia yang selalu menggunakan epistemologi Islam dalam dialognya dengan realita alam. Individu-individu yang beradab seperti ini adalah berperan penting secara sosial dalam pembentuk sebuah masyarakat beradab.

Masyarakat beradab, adalah masyakat beriman yang memahami diin dengan baik dan benar. Yang menarik disini adalah korelasi antara kata beradab dan br-diin dengan benar. Al-Attas menganalisa, bahwa diin berasal dar kata da ya na yang berati berhutang. Derivasi kata itu adalah daynun (kewajiban), daynunah (hukuman), idanah (keyakinan). Islam sebagai sebuah diin mengandung makna dari derivasi kata-kata tersebut. Yakni, inti berislam adalah kewujudan manusia yang berhutang kepada Tuhan, penyerahan diri manusia kepada Tuhan, pelaksanaan kekuasaan pengadilan, dan suatu cerminan dari kecenderungan manusia secara fitrah. Kata-kata tersebut di atas juga berkait dengan kata madinah (kota) yakni kota yang berisi manusia-manusai beragama dengan baik[19]. Dari kata ini juga lahir istilah tamaddun yang diartikan peradaban. Di sinilah kata beradab bertemu dengan kata diin. Sehingga, bisa dikatakan orang beradab adalah orang yang berdiin, melaksanakan syari’ah, menempati janji primordialnya sebagai jiwa bertauhid – yang secara ringkas dikatakan berworldview Islam.

Dapat disimpulkan, konsep ta’dib adalah konsep pendidikan yang bertujuan menghasilkan individu beradab, yang mampu melihat segala persoalan dengan teropong worldview Islam. Mengintegrasikan ilmu-ilmu sains dan humaniora dangan ilmu syari’ah. Sehingga apapun profesi dan keahliannya, syar’iah dan worldview Islam tetap merasuk dalam dirinya sebagai parameter utama. Individu-individu yang demikian ini adalah manusia pembentuk peradaban Islam yang bermartabat. Dalam tataran praktis, konsep ini memerlukan proses Islamisasi ilmu pengetahuan terlebih dahulu. Karena, untuk mencapai tujuan utama konsep pendidikan ini, ilmu-ilmu tidak hanya perlu diintegrasikan akan tetapi, ilmu yang berparadigma sekuler harus diislamkan basis filosofisnya.

Pendidikan Ta’dib dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Sebagaimana disinggung di atas, konsep ta’dib adalah konsep yang dibangun dengan tujuan menghasilkan individu beradab, yakni yang bertasawwur Islamiy (berpandangan hidup Islam). Individu yang seperti inilah yang berperan dalam proses Islamisasi ilmu pengetahuan. Sesuai dengan makna ta’dib menurut al-Jurjani bahwa ta’dib adalah proses mendapatkan ilmu pengetahuan (ma’rifah) untuk mencegah pelajar dari bentuk kesalahan. Tujuan Islamisasi Ilmu juga sama. Al-Attas mengatakan tujuan Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah melindungi orang Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan.[20]

Dalam pandangan Syed M.N. Al-Attas, ilmu modern banyak yang telah westernized (terbaratkan) yang bangunan konsep-konsepnya disusun ilmuan Barat sekuler. Westernisasi ilmu bukan dibangun di atas Wahyu dan kepercayaan agama, tetapi dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, berubah terus menerus[21]. Pandangan ilmuan Barat yang berpadangan hidup sekuler secara sadar atau tidak mempengaruhi hasil observasi ilmunya. Sehingga kita bisa berasumsi bahwa, beberapa hasil kajian-kajian ilmiah yang diteliti cenderung sekularistik serta kosong nilai-nilai religius.

Akibatnya, ilmu-ilmu produk ilmuan Barat menimbulkan persoalan pelik yang tidak menguntungkan bagi pandangan muslim. Persoalan utamanya adalah pergeseran paradigma ilmu. Epistemologi yang digunakan dalam proses mendapatkan ilmu adalah epistemologi rasionalis-empiris – membuang dimensi metafisik[22]. Al-Attas menyebut lima poin yang menjiwai budaya keilmuan barat. Yaitu, mengandalkan akal untuk membimbing kehidupan manusia, menggunakan pendekatakan dikotomis atau dualistik terhadap realita kebenaran, menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler yang cenderung berpaham humanisme[23] dan menjadikan tragedi sebagai faktor yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan[24]. Dengan pendekatan ini, ilmuan dipaksa untuk tidak memasukkan unsur-unsur metafisik atau penafsiran-penafsiran agama. Sehingga dalam hasil kajian ilmiah, sains tidak boleh bertemu dengan penafsiran agama.

Pada dasarnya, poin utama perbedaan metodologi Islam dan Filsafat sains sekular adalah cara mendapatkan kebenaran pengetahuan. Filsafat sains sekuler menggunakan metode rasionalis-empiris, menolak wahyu dan otoritas tetap, serta menjadikan skeptisisme (keraguan) sebagai metode epistemologi. Skeptisisme inilah menjadi kepercayaan dasar – membuang dimensi metafisik[25]. Sehingga konsep nilai, konsep baik dan buruk menjadi kabur, tidak ada parameter tetap, karena selalu berubah-ubah.

Oleh sebab itulah, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern; beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika; penafsiran historisitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, dan rasionalitas proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, hubung kaitnya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.

Bagi Islam, hal ini tidak menguntungkan pendidikan. Hegememoni ilmu sekuler yang mengglobal telah sekian lama mempengaruhi dunia pendidikan Islam[26]. Di satu sisi, sains saat ini adalah hasil kajian epistemologi sekular yang tentu dalam konsep-konsep atau teorinya didasari asumsi yang sekular. Hal itu berakibat pada hasil observasinya[27] – meskipun tidak semua. Satu contoh adalah konsep Darwin tentang asal-usul kehidupan. Darwin adalah seorang saintis ateis. Alasan mengapa ia menyimpulkan kehidupan itu berasal dari makhluk hidup sebelumnya, adalah karena itu tidak meyakini keberadaan Tuhan yang menciptakan makhluk. Asumsi yang menolak campur tangan Tuhan dalam penciptaan inilah yang mempengaruhi hasil penelitiannya, bahwa makhluk itu ada dengan sendirinya.

Pada sisi yang lain, dewesternisasi ilmu tersebut melahirkan dikotomi bahwa ilmu pengetahuan itu ada dua, yaitu ilmu umum dan ilmu agama. Pembagian ini bermasalah. Sebab, pembagian ini cenderung menggiring pemahaman ‘menyempitkan’ ilmu agama. Seakan-akan ilmu agama itu partikular tidak umum. Bahkan seakan melokalkan ilmu agama. Padahal ilmu agama Islam mestinya lebih universal, daripada sains. Karena ilmu agama menyangkut dan mengatur semua realitas alam. Akan tetapi ilmu umum tertentu belum tentu bersifat universal.

Jika seperti ini, maka ini termasuk pandangan yang sekuler. Selain itu, ilmu-ilmu, baik umum maupun agama semakin dibagi-bagi – yang tidak ada usaha mengkorelasisakan. Akibatnya, orang kedokteran, kimia, fisika, teknik misalnya tidak paham ilmu fikih, atau ilmu-ilmu syariah lainnya. Bahkan spesifikasi belajar agama semakin menyempit, dibagi menjadi jurusan-jurusan yang bermacam-macam. Belum lagi, belajar ilmu-ilmu syari’ah dengan framework Barat, bisa dipastikan hasilnya bukan kedekatan kepada Allah SWT

Menurut al-Attas, inilah tantangan terbesar yang dihadapi kaum muslim kontemporer, yang memerlukan gerakan sinergis untuk melakukan Islamisasi ilmu. Proyek ini tidak lah mudah, membutuhkan individu-individu unggul untuk mengislamkan sains. Individu yang dimaksud adalah individu yang perpandangan hidup Islam. yang memahami konsep-konsep kunci dalam Islam. Dalam rangka itulah maka al-Attas menggagas konsep ta’dib untuk pendidikan Islam. sebuah terobosan baru di era kontemporer untuk menyuguhkan pendidikan integral, kohern dan berpandangan hidup Islam[28].

Untuk keperluan itulah, perlu dipersiapkan generasi yang menguasai basis-basis ilmu ilmu agama. Yang mampu menguasai konsep-konsep Islam, sekaligus bersikap kritis terhadap fenomena ilmu yang berdasarkan epistemologi sekuler. Jika dua konsep itu dikuasai maka pelajar beradab akan mampu melakukan Islamisasi ilmu. Proses islamisasi itu bukan sekedar memasukkan dalil naqli ke dalam sains, akan tetapi yang diislamkan adalah, basis filosofisnya, metode berpikir, atau konsep yang dianggap menafikan metafisik atau bertentangan dengan konsep-konsep Islam. Dengan begitu, diharapkan proyek islamisasi ilmu pengetahuan ini menegaskan kembali identitas sains Islam, yang telah hilang. Proyek besar tersebut bakal melahirkan disiplin sains beridentitas Islam, seperti ekonomi Islam, Kedokteran Islam, Kimia Islam, Fisika Islam, Psikologi Islam, dan lain sebagainya.

Saintis Beradab

Problem yang melanda pendidikan Islam dan intelektual muslim tersebut dikarenakan dua sebab, eksternal dan internal. Sebab eksternal dikarenakan oleh tantangan hegemoni Barat dalam bidang budaya, sosial, politik dan agama. Sedangkan penyebab internal tampak dalam tiga bentuk fenomena yang saling berhubungan, yaitu kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ilmu beserta aplikasinya, ketiadaan adab, dan munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak layak memikul tanggung jawab dengan benar di segala bidang[29].

Dalam posisi ini, yang harus menjadi titik utama perhatian adalah ketiadaan adab seorang ilmuan yang disebabkan kesalahan dalam memahami ilmu. Kesalahan ilmu ini adalah sumber dari masalah yang lain[30], terutama krisis ketiadaan adab (the loss adab). Secara esensial, ketiadaan adab akan memicu munculnya segala bentuk sofisme. Yakni, timbulnya kebingungan dalam bidang ilmu yang hal ini menyebabkan rusaknya tatanan moral dan pendidikan suatu masyarakat. Kebingungan dalam bidang ilmu berarti rusaknya suatu ilmu pengetahuan (corruption of knowledge).[31] Kebingungan intelektual dan rusaknya ilmu ini juga berarti loss of identity (kehilangan identitas).

Hilangnya identitas seorang saintis muslim ini adalah, hilangnya karakter ilmuan muslim. Yang tidak bisa membedakan lagi sains Islam dan sains Barat-sekuler, dan tidak memperhatikan lagi adab terhadap ilmu pengetahuan. Ilmu atau sains dianggap bebas nilai (free value) yang tidak ada sangkut pautnya dengan agama dan etika. Sains Islam dan sains Barat tidak ada bedanya. Ilmuan seperti ini sudah kehilangan nalar sadarnya bahwa ilmu pengetahuan dibangun berdasarkan sistem nilai atau paradigma seorang sainstis.

Sains modern atau sains Barat terbentuk dari paradigma sekuler. Ilmuan Barat modern membangun dan mengembangkan sebuah filsafat sains dengan keyakinan dasar bahwa sesuatu itu terwujud dari sesuatu yang lainnya – yang berarti tidak ada campur tangan Tuhan dalam proses pewujudan tersebut. Alam dilihat dari sebuah perpektif bahwa segala sesautu itu bekembang, maju dan berevolusi dengan sendirinya, tidak diciptakan. Paradima sekuler ini menolak realita keberadaan Tuhan sebagai pihak yang ikut mencampuri proses perkembangan dan kemajuan alam. Pendekatan yang digunakan adalah rasionalisme filosofis dan empirisisme. Yakni pengetahuannya bersandar pada akal murni tanpa bantuan pengalaman atau persepsi inderawi dan seluruh ilmu adalah fakta yang dapat diamati, logis dan dapat dianalisis bahasa. Menolak otoritas wahyu dan agama sebagai sumber ilmu pengetahuan yang benar[32]. Keyakinan dasar ini secara diametral bertolak belakang dengan tradisi sains Islam.

Sains Islami tidaklah lahir dari kecuali dari ilmuan yang berpandangan hidup Islam, atau ilmuan yang beradab. Gagasan ta’dib al-Attas adalah ingin mencetak ilmuan yang beradab. Manusia beradab sebagaimana diterangkan di atas adalah manusia yang menerapkan adab dalam setiap asepk. Adab terhadap Tuhan, diri sendiri, lingkungan sosial, hubungan antar sesama manusia, bahasa, alam, dan ilmu[33]. Adab kepada ilmu, akan berpengaruh besar terhadapa adab kepada objek-objek yang lainnya. Menurut al-Attas intelektual yang beradab kepada ilmu akan mengenal dan mengakui bahwa seorang berilmu kedudukannya lebih luhur dan mulia dan ilmu-ilmu fardlu ‘ain dan syari’ah harus dikuasai terlebih dahulu sebelum ilmu-ilmu yang lainnya. Adab seperti ini akan menghasilkan metode yang tepat dalam memeperoleh ilmu, serta menerapakan sains dalam pelbagai bidang dengan benar[34].

Ilmu yang benar diperoleh dengan cara yang benar hendaknya digunakan secara tepat. Penerapan yang tepat ini akan berimplikasi positif terhadap perlakuan ilmuan terhadap dirinya, lingkungan sosial, hubungan antar sesama manusia, dan kepada Tuhannya, atau terhadapa aspek-aspek lainnya. Di sinilah peran ilmuan yang beradab sangat diperlukan. Ilmuan beradab diibaratkan seorang dokter yang ahli dalam mengidentifikasi penyakit.

Dengan bekal dasar worldview Islam serta penguasan komprehensif terhadap konsep-konsep dasar Islam, ilmuan beradab dengan mudah mendeteksi problem yang menghinggapi sebuah ilmu. Seoarang ilmuan muslim beradab mengajarkan dan mempelajari ilmu secara benar dan proporsional. Seorang guru Biologi yang yang beradab memiliki daya nalar kritis yang benar ketika menyampaikan materi teori Darwin kepada siswanya. Bahwa, teori tersebut tidak dibentuk atas dasar keimanan kepada Tuhan. Sehingga dalam temuan teorinya, peran Tuhan ‘dipensiunkan’ yang berarti bertolak belakang dengan nas-nas al-Qur’an. Atau dalam studi al-Qur’an, ilmuan beradab, pasti akan menolak penyamaan hermeneutika dan ta’wil. Karena secara konseptual dan asas terbentuknya teori tersebut sama sekali jauh berbeda. Penyaamaan ta’wil dan tafsir dengan hermeneutika berarti menyamakan teks al-Qur’an dengan teks-teks manusiawi biasa yang tidak memiliki nilai kesucian.

Karena jiwa ilmuan terselimuti oleh adab dan konsep-konsep dasar Islam, maka dalam tradisi ilmu pengetahuan Islam tidak akan ditemuakan penyalahgunaan ilmu untuk tujuan pragmatis, materialis atau tujuan-tujuan lain untuk memuaskan nafsu manusia. Sebab, dalam tradisi Islam, semua ilmu baik ilmu syari’at atau ilmu-ilmu alam dipelajari dalam rangka pengabdian yang tinggi kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan meraih kebahagian sejati. Temuan nuklir contohnya tidak akan digunakan memusnahkan bangsa lain untuk tujuan perluasan daerah kekuasaan. Seorang ahli kedokteran Islam juga tidak akan menggunakan cara-cara haram atau pengobatan yang merugikan.

Penutup dan Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep ta’dib sebagai konsep pendidikan Islam yang digagas Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah perangkat dasar dalam proyek Islamisasi Ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu yang diproyekkan al-Attas adalah pengislaman ilmu-ilmu yang dianggap sekuler. Proyek ini hanya bisa dilakukan oleh ilmuan-ilmuan muslim yang berpandangan hidup Islam dan memiliki dasar-dasar keilmuan Islam yang kuat. Sebab, yang diislamkan dalam proyek ini adalah basis filosofis, yang merupakan elemen dasar sebuah ilmu. Yakni mengeluarkan penafsiran ilmu dari ideologi, makna dan ungkapan sekuler. Konsep ta’dib al-Attas dalam rangka untuk mencapai tujuan tersebut.

Maka, gagasan al-Attas tentang konsep ta’dib di dunia kontemporer saat ini adalah suatu hal yang perlu disambut positif. Sebab, dunia pendidikan Islam kita belum menemukan bentuk yang ideal untuk mencetak generasi ilmuan muslim unggul yang bisa berbuat banyak dalam kancah dunia. Apalagi, ilmu-ilmu yang terwesternized menjadi konsumsi publik dunia perlu diislamkan demi menegakkan peradaban Islam yang bermartabat. Dunia pendidikan Islam, sudah saatnya mengkonsentrasikan diri untuk membentuk manusia-manusia yang beradab. Itu hanya bisa dilakukan jika dunia pendidikan mengajarkan ilmu yang benar secara integratif.

Gagasan al-Attas tersebut merupakan ide besar yang perlu dikembangkan secara lebih luas lagi. Perwujudan ide al-Attas lebih difokuskan dalam dunia perguruan tinggi dengan mendirikan ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), adalah satu usaha. Konsep ta’dib al-Attas memprioritaskan pada pendidikan tinggi. Oleh karena itu, ada baiknya upaya pengembangan gagasan tersebut menurut penulis perlu dikembangkan lagi dengan memperlebar fokus, yakni menciptakan formula konsep ta’dib untuk tingkat pendidikan dasar atau menengah. Sebab, akan lebih baik bila penerapan pendidikan berpandangan hidup Islam itu diterapkan sejak sebelum perguruan tinggi. Hal itu bisa dilakukan dengan penguasaan konsep-konsep dasar Islam yang kemudian diintegrasikan ke dalam tiap mata pelajaran sekolah. Wallahu A’lam bisshowab.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Hamid Muhammad bin Muhamma al-Thusi al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Mujallad I,(Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah)

Alparslan Acikgenc, Islam Science Towards a Devinition (Kuala Lumpur: ISTAC: 1996)

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif, 2005)

Armahdedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami, Revolusi Integralisme Islam (Bandung: Mizan, 2004)

Hasyim Asy’ari, Adabu al-Alim wa al-Muta’allim (Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H)

Ibnu Mandzur, Lisanul Arab (Beirut: Dar Shadir, tanpa tahun)

Ibrahim Mustofa (dkk), al-Mu’jam al-WasithI bab adab (Istanbul: al-Maktaba al-Islamiyah, 1380 H/1960 M)

Kemas Badaruddin,Filsafat Pendidikan, Analisis Pemikiran Syed M.N. Al-Attas (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009)

Syarif al-Jurjani, Kitab Ta’rifaat (Beirut: Maktabah Lubnaniyah, 1995)

Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the Future (London-New York: Mansell Publishing Limited, 1985)

____________________________, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993)

____________________________, Islam dan Filsafat Sains (terj) (Bandung: Mizan,1995)

____________________________, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Kerangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam (terj) (Bandung: Mizan,1987)

_________________________, Risalah Untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC,2001)

_________________________,Prolegomena to the Metafhysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview Islam (Kuala Lumpur:ISTAC, 1995)

Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains (terj),(Bandung: Rosdakarya, 2005 cet kelima)

Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed M.N. al-Attas (terj) (Bandung: Mizan,2003)

Islam and Science, Journal of Islamic Perspektif on Science Vol. I December 2003 No. 2

Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA Thn I No 6, Juli-September 2005

CD Programme Maushu’ al-Hadis al-Syarif

http://id.wikipedia.org/wiki/Dualisme

[1]Mahasiswa Pascasarjana Istitut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo

[2]Pendidikan Integratif adalah pendidikan yang tidak berdasarkan kepada metode dikotomis yang membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum. Al-Attas sepakat dengan al-Ghazali yang membagi ilmu secara hirarkies, yaitu ilmu fardlu ‘ain (ilmu tentang rukun iman, rukun Islam, perbuatan haram, dan ilmu yang berkaitan dengan amal yang akan dilakukan), dan ilmu fardlu kifayah, yang termasuk di dalamnya ilmu syariah dan ilmu non-syariah atau umum). Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Kerangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam (terj) (Bandung: Mizan,1987), p. 90

[3]Lihat Ibnu Mandzur,Lisan al-‘Arabiy bab adab dan Ibrahim Mustofa (dkk), al-Mu’jam al-WasithI bab adab (Istanbul: al-Maktaba al-Islamiyah, 1380 H/1960 M)

[4]Kemas Badaruddin,Filsafat Pendidikan, Analisis Pemikiran Syed M.N. Al-Attas (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009), p. 59

[5]Syarif al-Jurjani, Kitab Ta’rifaat (Beirut: Maktabah Lubnaniyah, 1995), p. 10

[6]Istilah ta’dib juga telah dipakai tokoh sufi sebagai sebuah istilah untuk pendidikan pengembangan pribadi, akal dan moral. Lihat Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA Thn I No 6, Juli-September 2005

[7]Dalam hadis Rasulullah SAW memakai kata addaba yang bermakna mendidik. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda: Addabaniy Rabbiy fa ahsana ta’dibiy (HR. As-Sam'ani).

[8]Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib. al-Attas (terj) (Bandung: Mizan,2003), p. 177

[9]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC,2001), p. 47

[10] Hasyim Asy’ari, Adabu al-Alim wa al-Muta’allim (Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H), p. 11.

[11] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas (terj), p. 174

[12] QS. Al-A’raf: 172

[13]Filsafat sains al-Attas secara sistematis berdasarkan pada ilmu tasawwuf dimana semua aktifitasnya ditujukan untuk pengabdian tinggi kepada Tuhan. Lihat Adi Setia, Special Feature on the Phylosophy of Science of Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Islam and Science Journal of Islamic Perspektif on Science Vol I December 2003 No 2, p. 172

[14] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas (terj), p. 180

[15]Islamic worldview dalam pandangan al-Attas adalah pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang Nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total maka worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yaat al-Islam lil wujud). Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas,Prolegomena to the Metafhysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview Islam (Kuala Lumpur:ISTAC, 1995), p. 2

[16]Dikotomis adalah pendekatan yang memisahkan objek saling berlawanan, misalnya antara jiwa dan raga tidak ada kaitan. Pendekatan ini disebut juga dualisme pemikiran. Pemikiran filasafat ini dipelopori tokoh-tokoh filasafat Barat seperti Pytagoras, Plato dan Rene Descartes. Lihat Samuel Guttenplan, A Companion to the Philosophy of Mind (Oxford: Blackwell), p. 265-7 dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Dualisme

[17]Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas (terj), p. 186

[18]Baca Syed Muhammad Naquib Al-Attas,Prolegomena to the Metafhysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview Islam (Kuala Lumpur:ISTAC, 1995).

[19] Ibid, p. 42-43

[20]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), p. 41

[21] Ibid, p. 133-135

[22]Syed Muhammad Naquib Al-Attas Prolegomena to the Metafhysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview Islam, p. 114

[23]Pemahaman yang meyakini manusia sebagai hakikat sentral kosmos atau menempatkannnya di titik sentral. Manusia adalah sumber kebenaran. Keyakinan ini sebenarnya adalah haikat relativisme yakni penolakan terhadapa eksistensi suatu hakikat dan kebenaran absolute. Kebenaran itu tersebar di tiap manusia. Akar keyakinan ini dapat dilacak pada pemikiran Protagoras (490-420 SM) seorang tokoh Sophist yang pernah menyatakan: “Manusia adalah satu-satunya standar bagi segala sesuatu”. Lihat Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif, 2005), p. 31

[24]Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), p. 43 dan Prolegomena to the Metafhysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview Islam, p.88

[25]Syed Muhammad Naquib Al-Attas Prolegomena to the Metafhysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview Islam, p. 113 dan 117

[26]Baca Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the Future (London-New York: Mansell Publishing Limited, 1985), p. 127-129

[27]Menurut Thomas S. Kuhn paradigm seorang ilmuan atau sistem keyakinan dasar dalam memandang realita alam menentukan cara mengamati, menyusun pertanyaan-pertanyaan dan hipotesa. Ia mengatakan: Paradigma-paradigma bisa menentukan ilmu pengetahuan yang normal tanpa campur tangan kaidah-kaidah yang ditemukan. Lihat Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains (terj),(Bandung: Rosdakarya, 2005 cet kelima), p.141-144

[28]Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas (terj), p. 186

[29]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the Future, p. 100 lihat juga Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas (terj), p. 198

[30] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains (terj) (Bandung: Mizan,1995), p. 7

[31]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the Future, p.103-104 dan lihat juga Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas (terj), p. 200

[32] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains (terj), p. 27-28

[33]Ibid, p. 178-179

[34]Ibid.