SELALU CERIA..................
SHOLEH,JUJUR,CERDAS,KREATIF DAN BERAKHLAK ISLAMI

PROFIL

Jumat, 13 Agustus 2010

Kegiatan Romadhon Bersama Wali Murid SD IT Logaritma

. Salah satu kegiatan amaliah romadahan SD IT Logaritma Karanganyar adalah Romadhon Bersama Wali Murid. Kegitan ini dilaksanakan pada hari kamis tanggal 13 Agustus Bertempat diaula SD IT Logaritma. Kegiatan tersebut dimasudkan sebagai wahana silaturahmi antar walimurid dan sekolah di samping sebagai peningkatan keilmuan dan keimanan.

Selasa, 10 Agustus 2010

Pendidikan Konsep Ta’dib Sebagai Solusi Pendidikan Islam di Era Global


oleh: Kholili Hasib[1]
Pendahuluan
Ta’dib adalah konsep pendidikan Islam yang digagas oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang bertujuan mencetak manusia beradab. Ide al-Attas tersebut dilatarbelakangi oleh krisis ilmu yang dialami kaum muslim kontemporer. Menurut al-Attas, tantangan terbesar yang dihadapi dunia muslim kontemporer adalah kesalahan dibidang ilmu. Hal tersebut mengakibatkan hilangnya adab (the loss of adab). Kehilangan adab di sini maksudnya kehilangan identitas, identitas ilmu-ilmu keislaman dan identitas ilmuan muslim. Definisi sains Islam di era globalisasi semakin kabur, tertutup selimut ilmu-ilmu modern-sekuler. Lenyapnya identitas ilmu Islam tersebut dikarenakan gencarnya hegemoni Barat sekuler yang gerakaannya seiring dengan gelombang globalisasi.
Untuk menjawab tantangan tersebut, al-Attas menggagas proyek Islamisasi ilmu pengetahuan. Proyek besar tersebut memerlukan perangkat-perangkat yang kuat. Oleh karena itu, pendidikan Islam – sebagai basis utama mega proyek tersebut – harus mampu mencetak manusia beradab. Yakni manusia yang berpandangan hidup Islam dan menguasai ilmu-ilmu Islam secara integratif. Gagasan melahirkan manusia yang beradab tersebut diwujudkan dengan pendidikan konsep ta’dib sebagai formula pendidikan Islam yang ideal dan integratif. Tulisan ini akan membahas urgensi dan peran pendidikan konsep ta’dib dalam Islamisasi Ilmu pengetahuan untuk menjawab krisis ilmu di era globalisasi.

Pendidikan Konsep Ta’dib
Konsep ta’dib yang digagas al-Attas adalah konsep pendidikan Islam yang bertujuan menciptakan manusia beradab dalam arti yang komprehensif. Pengertian konsep ini dibangun dari makna kata dasar adaba dan derivasinya. Makna addaba dan derivasinya, bila maknanya dikaitkan satu sama lain, akan menunjukkan pengertian pendidikan yang integratif[2]. Di antara makna-makna tersebut adalah, kesopanan, keramahan, dan kehalusan budi pekerti[3]. Makna ini identik dengan akhlak. Adab juga secara konsisten dikaitkan dengan dunia sastra, yakni adab dijelaskan sebagai pengetahuan tentang hal-hal yang indah yang mencegah dari kesalahan-kesalahan[4]. Sehingga seorang sastrawan disebut adiib. Makna ini hampir sama dengan definisi yang diberikan al-Jurjani, yakni ta’dib adalah proses memperoleh ilmu pengetahuan (ma’rifah) yang dipelajari untuk mencegah pelajar dari bentuk kesalahan[5].

Kata ta’dib adalah mashdar dari addaba yang sebenarnya secara konsisten bermakna mendidik. Berkenaan dengan hal itu, seorang guru yang mengajarkan etika dan kepribadian tersebut disebut juga mu’addib[6]. Setidaknya ada tiga derivasi dari kata addaba, yakni adiib, ta’dib, muaddib. Dari gambaran tersebut dapat dikatakan, keempat makna itu saling terikat dan berkaitan. Seorang pendidik (muaddib), adalah orang yang mengajarkan etika, kesopanan, pengembangan diri atau suatu ilmu (ma’rifah) agar anak didiknya terhindar dari kesalahan ilmu, menjadi manusia yang sempurna (insan kamil) sebagaimana dicontohkan dalam pribadi Rasulullah SAW[7]. Cara mendidiknya perlu dengan menggunakan cara-cara yang benar sesuai kaidah, menarik dan indah – seperti seorang sastrawan yang menyuguhkan kata-kata dengan benar, indah dalam berpuisi.

Berdasarkan hal itu, al-Attas mendefinisikan adab dari analisis semantiknya, yakni, adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realita bahwasannya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hirearki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual dan spiritual[8]. Dalam hal ini, al-Attas memberi makna adab secara lebih dalam dan komprehensif yang berkaitan dengan objek-objek tertentu yaitu pribadi manusia, ilmu, bahasa, sosial, alam dan Tuhan[9]. Beradab, adalah menerapkan adab kepada masing-masing objek tersebut dengan benar, sesuai aturan.

Pada dasarnya, konsep adab al-Attas ini adalah memperlakukan objek-objek tersebut sesuai dengan aturan, wajar dan tujuan terakhirnya adalah kedekatan spiritual kepada Tuhan. Berkenaan dengan hal ini, maka adab juga dikaitkan dengan syari’at dan Tauhid. Orang yang tidak beradab adalah orang yang tidak menjalankan syari’at dan tidak beriman (dengan sempurna)[10]. Maka orang beradab menurut al-Attas adalah orang yang baik yaitu orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Hak, memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya dan orang lain dalam masyarakat, berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab[11].

Dari uraian singkat tersebut, bisa dikatakan bahwa makna beradab secara sederhana adalah, tidak berbuat dzalim. Maksudnya, orang beradab adalah orang yang menggunakan epistemologi ilmu dengan benar, menerapkan keilmuan kepada objeknya secara adil, dan mampu mengidentifikasi dan memilah pengetahuan-pengetahuan (ma’rifah) yang salah. Setelah itu, metode untuk mencapai pengetahuan itu harus juga benar sesuai kaidah Islam. Sehingga, seorang yang beradab (insan adabi) mengerti tanggung jawabnya sebagai jiwa yang pernah mengikat janji dalam Primordial Covenant[12] dengan Allah SWT sebagai jiwa bertauhid. Apapun profesi manusia beradab, ikatan janji itu selalu ia aplikasikan dalam setiap aktifitasnya[13]. Oleh sebab itu, istilah yang paling tepat untuk pendidikan Islam menurut al-Attas adalah ta’dib bukan tarbiyah atau ta’lim. Term tarbiyah tidak menunjukkan kesesuaian makna, ia hanya menyinggung aspek fisikal dan emosional manusia. Term tarbiyah juga diapakai untuk mengajari hewan. Sedangkan ta’lim secara umum hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif. Akan tetapi ta’dib sudah menyangkut ta’lim (pengajaran) di dalamnya[14]. Singkatnya, konsep ta’dib mengandung makna yang lebih komprehensif dan integratif daripada tarbiyah.

Konsep ta’dib adalah konsep pendidikan Islam yang komprehensif, karena aspek-aspek ilmu dan proses pencapainya mesti dicapai dengan pendekatana tawhidy dan objek-objeknya diteropong dengan pandangan hidup Islami (worldview Islam)[15]. Pendekatan tawhidy adalah pendekatan yang tidak dikotomis[16] dalam melihat realitas. Menurut al-Attas, pendidikan Islam bukanlah seperti pelatihan yang akan menghasilkan spesialis. Melainkan proses yang akan menghasilkan individu baik (insan adabi), yang akan menguasai pelbagai bidang studi secara integral dan koheren yang mencerminkan padandangan hidup Islam[17].

Model pendidikan yang menitikberatkan pada pelatihan cenderung menghasilkan individu pragmatis, yang aktifitasnya tidak mencerminkan pandangan hidup Islam. Ia hanya belajar untuk tujuan kepuasan materi. Padahal, pendidikan adalah proses panjang yang titik kulminasinya adalah kebahagaiaan akhirat. Maka, konsep ta’dib menfaikan itu. Target yang ingin dicapai dalam konsep ta’dib adalah penguasaan ilmu-ilmu itu mesti terselimuti oleh worldview Islam. Tidak ada dikotomi antara ilmu umum dan ilmu syar’i. Semua ilmu yang dipelajari, baik ilmu matematika, fisika, kimia, biologi, bahasa, sosial dan lain sebagainya, mesti mendapat asupan dengan ilmu syari’at.

Sehingga bisa dikatakan, integralisasi sains dan ilmu-ilmu humaniora dengan ilmu syar’i adalah inti utama konsep pendidikan ta’dib. Sebab dalam pandangan hidup Islam, aspek duniawi harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat adalah signifikasi yang final. Pandangan hidup Islam terbangun dari jaringan-jaringan konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, manusia, alam, ilmu, agama dan lain sebagainya. Manusia beradab menurut al-Attas adalah manusia yang sadar akan kedudukan dirinya di tengah realitas alam dan harus bisa berbuat selaras dengan ilmu pengetahuan secara positif, terpecaya dan terpuji[18].

Manusia yang beradab, akan melihat segala persoalan di alam ini dengan kacamata worldview Islam. Worldview Islam menjadi ‘pisau’ analisa setiap persoalan keduniawiyan. Sebagaimana dinyatakan al-Attas, insan adabi itu harus berbuat selaras dengan ilmu pengetahuan secara positif. Yakni, seorang manusia yang selalu menggunakan epistemologi Islam dalam dialognya dengan realita alam. Individu-individu yang beradab seperti ini adalah berperan penting secara sosial dalam pembentuk sebuah masyarakat beradab.

Masyarakat beradab, adalah masyakat beriman yang memahami diin dengan baik dan benar. Yang menarik disini adalah korelasi antara kata beradab dan br-diin dengan benar. Al-Attas menganalisa, bahwa diin berasal dar kata da ya na yang berati berhutang. Derivasi kata itu adalah daynun (kewajiban), daynunah (hukuman), idanah (keyakinan). Islam sebagai sebuah diin mengandung makna dari derivasi kata-kata tersebut. Yakni, inti berislam adalah kewujudan manusia yang berhutang kepada Tuhan, penyerahan diri manusia kepada Tuhan, pelaksanaan kekuasaan pengadilan, dan suatu cerminan dari kecenderungan manusia secara fitrah. Kata-kata tersebut di atas juga berkait dengan kata madinah (kota) yakni kota yang berisi manusia-manusai beragama dengan baik[19]. Dari kata ini juga lahir istilah tamaddun yang diartikan peradaban. Di sinilah kata beradab bertemu dengan kata diin. Sehingga, bisa dikatakan orang beradab adalah orang yang berdiin, melaksanakan syari’ah, menempati janji primordialnya sebagai jiwa bertauhid – yang secara ringkas dikatakan berworldview Islam.

Dapat disimpulkan, konsep ta’dib adalah konsep pendidikan yang bertujuan menghasilkan individu beradab, yang mampu melihat segala persoalan dengan teropong worldview Islam. Mengintegrasikan ilmu-ilmu sains dan humaniora dangan ilmu syari’ah. Sehingga apapun profesi dan keahliannya, syar’iah dan worldview Islam tetap merasuk dalam dirinya sebagai parameter utama. Individu-individu yang demikian ini adalah manusia pembentuk peradaban Islam yang bermartabat. Dalam tataran praktis, konsep ini memerlukan proses Islamisasi ilmu pengetahuan terlebih dahulu. Karena, untuk mencapai tujuan utama konsep pendidikan ini, ilmu-ilmu tidak hanya perlu diintegrasikan akan tetapi, ilmu yang berparadigma sekuler harus diislamkan basis filosofisnya.

Pendidikan Ta’dib dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Sebagaimana disinggung di atas, konsep ta’dib adalah konsep yang dibangun dengan tujuan menghasilkan individu beradab, yakni yang bertasawwur Islamiy (berpandangan hidup Islam). Individu yang seperti inilah yang berperan dalam proses Islamisasi ilmu pengetahuan. Sesuai dengan makna ta’dib menurut al-Jurjani bahwa ta’dib adalah proses mendapatkan ilmu pengetahuan (ma’rifah) untuk mencegah pelajar dari bentuk kesalahan. Tujuan Islamisasi Ilmu juga sama. Al-Attas mengatakan tujuan Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah melindungi orang Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan.[20]

Dalam pandangan Syed M.N. Al-Attas, ilmu modern banyak yang telah westernized (terbaratkan) yang bangunan konsep-konsepnya disusun ilmuan Barat sekuler. Westernisasi ilmu bukan dibangun di atas Wahyu dan kepercayaan agama, tetapi dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, berubah terus menerus[21]. Pandangan ilmuan Barat yang berpadangan hidup sekuler secara sadar atau tidak mempengaruhi hasil observasi ilmunya. Sehingga kita bisa berasumsi bahwa, beberapa hasil kajian-kajian ilmiah yang diteliti cenderung sekularistik serta kosong nilai-nilai religius.

Akibatnya, ilmu-ilmu produk ilmuan Barat menimbulkan persoalan pelik yang tidak menguntungkan bagi pandangan muslim. Persoalan utamanya adalah pergeseran paradigma ilmu. Epistemologi yang digunakan dalam proses mendapatkan ilmu adalah epistemologi rasionalis-empiris – membuang dimensi metafisik[22]. Al-Attas menyebut lima poin yang menjiwai budaya keilmuan barat. Yaitu, mengandalkan akal untuk membimbing kehidupan manusia, menggunakan pendekatakan dikotomis atau dualistik terhadap realita kebenaran, menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler yang cenderung berpaham humanisme[23] dan menjadikan tragedi sebagai faktor yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan[24]. Dengan pendekatan ini, ilmuan dipaksa untuk tidak memasukkan unsur-unsur metafisik atau penafsiran-penafsiran agama. Sehingga dalam hasil kajian ilmiah, sains tidak boleh bertemu dengan penafsiran agama.

Pada dasarnya, poin utama perbedaan metodologi Islam dan Filsafat sains sekular adalah cara mendapatkan kebenaran pengetahuan. Filsafat sains sekuler menggunakan metode rasionalis-empiris, menolak wahyu dan otoritas tetap, serta menjadikan skeptisisme (keraguan) sebagai metode epistemologi. Skeptisisme inilah menjadi kepercayaan dasar – membuang dimensi metafisik[25]. Sehingga konsep nilai, konsep baik dan buruk menjadi kabur, tidak ada parameter tetap, karena selalu berubah-ubah.

Oleh sebab itulah, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern; beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika; penafsiran historisitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, dan rasionalitas proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, hubung kaitnya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.

Bagi Islam, hal ini tidak menguntungkan pendidikan. Hegememoni ilmu sekuler yang mengglobal telah sekian lama mempengaruhi dunia pendidikan Islam[26]. Di satu sisi, sains saat ini adalah hasil kajian epistemologi sekular yang tentu dalam konsep-konsep atau teorinya didasari asumsi yang sekular. Hal itu berakibat pada hasil observasinya[27] – meskipun tidak semua. Satu contoh adalah konsep Darwin tentang asal-usul kehidupan. Darwin adalah seorang saintis ateis. Alasan mengapa ia menyimpulkan kehidupan itu berasal dari makhluk hidup sebelumnya, adalah karena itu tidak meyakini keberadaan Tuhan yang menciptakan makhluk. Asumsi yang menolak campur tangan Tuhan dalam penciptaan inilah yang mempengaruhi hasil penelitiannya, bahwa makhluk itu ada dengan sendirinya.

Pada sisi yang lain, dewesternisasi ilmu tersebut melahirkan dikotomi bahwa ilmu pengetahuan itu ada dua, yaitu ilmu umum dan ilmu agama. Pembagian ini bermasalah. Sebab, pembagian ini cenderung menggiring pemahaman ‘menyempitkan’ ilmu agama. Seakan-akan ilmu agama itu partikular tidak umum. Bahkan seakan melokalkan ilmu agama. Padahal ilmu agama Islam mestinya lebih universal, daripada sains. Karena ilmu agama menyangkut dan mengatur semua realitas alam. Akan tetapi ilmu umum tertentu belum tentu bersifat universal.

Jika seperti ini, maka ini termasuk pandangan yang sekuler. Selain itu, ilmu-ilmu, baik umum maupun agama semakin dibagi-bagi – yang tidak ada usaha mengkorelasisakan. Akibatnya, orang kedokteran, kimia, fisika, teknik misalnya tidak paham ilmu fikih, atau ilmu-ilmu syariah lainnya. Bahkan spesifikasi belajar agama semakin menyempit, dibagi menjadi jurusan-jurusan yang bermacam-macam. Belum lagi, belajar ilmu-ilmu syari’ah dengan framework Barat, bisa dipastikan hasilnya bukan kedekatan kepada Allah SWT

Menurut al-Attas, inilah tantangan terbesar yang dihadapi kaum muslim kontemporer, yang memerlukan gerakan sinergis untuk melakukan Islamisasi ilmu. Proyek ini tidak lah mudah, membutuhkan individu-individu unggul untuk mengislamkan sains. Individu yang dimaksud adalah individu yang perpandangan hidup Islam. yang memahami konsep-konsep kunci dalam Islam. Dalam rangka itulah maka al-Attas menggagas konsep ta’dib untuk pendidikan Islam. sebuah terobosan baru di era kontemporer untuk menyuguhkan pendidikan integral, kohern dan berpandangan hidup Islam[28].

Untuk keperluan itulah, perlu dipersiapkan generasi yang menguasai basis-basis ilmu ilmu agama. Yang mampu menguasai konsep-konsep Islam, sekaligus bersikap kritis terhadap fenomena ilmu yang berdasarkan epistemologi sekuler. Jika dua konsep itu dikuasai maka pelajar beradab akan mampu melakukan Islamisasi ilmu. Proses islamisasi itu bukan sekedar memasukkan dalil naqli ke dalam sains, akan tetapi yang diislamkan adalah, basis filosofisnya, metode berpikir, atau konsep yang dianggap menafikan metafisik atau bertentangan dengan konsep-konsep Islam. Dengan begitu, diharapkan proyek islamisasi ilmu pengetahuan ini menegaskan kembali identitas sains Islam, yang telah hilang. Proyek besar tersebut bakal melahirkan disiplin sains beridentitas Islam, seperti ekonomi Islam, Kedokteran Islam, Kimia Islam, Fisika Islam, Psikologi Islam, dan lain sebagainya.

Saintis Beradab

Problem yang melanda pendidikan Islam dan intelektual muslim tersebut dikarenakan dua sebab, eksternal dan internal. Sebab eksternal dikarenakan oleh tantangan hegemoni Barat dalam bidang budaya, sosial, politik dan agama. Sedangkan penyebab internal tampak dalam tiga bentuk fenomena yang saling berhubungan, yaitu kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ilmu beserta aplikasinya, ketiadaan adab, dan munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak layak memikul tanggung jawab dengan benar di segala bidang[29].

Dalam posisi ini, yang harus menjadi titik utama perhatian adalah ketiadaan adab seorang ilmuan yang disebabkan kesalahan dalam memahami ilmu. Kesalahan ilmu ini adalah sumber dari masalah yang lain[30], terutama krisis ketiadaan adab (the loss adab). Secara esensial, ketiadaan adab akan memicu munculnya segala bentuk sofisme. Yakni, timbulnya kebingungan dalam bidang ilmu yang hal ini menyebabkan rusaknya tatanan moral dan pendidikan suatu masyarakat. Kebingungan dalam bidang ilmu berarti rusaknya suatu ilmu pengetahuan (corruption of knowledge).[31] Kebingungan intelektual dan rusaknya ilmu ini juga berarti loss of identity (kehilangan identitas).

Hilangnya identitas seorang saintis muslim ini adalah, hilangnya karakter ilmuan muslim. Yang tidak bisa membedakan lagi sains Islam dan sains Barat-sekuler, dan tidak memperhatikan lagi adab terhadap ilmu pengetahuan. Ilmu atau sains dianggap bebas nilai (free value) yang tidak ada sangkut pautnya dengan agama dan etika. Sains Islam dan sains Barat tidak ada bedanya. Ilmuan seperti ini sudah kehilangan nalar sadarnya bahwa ilmu pengetahuan dibangun berdasarkan sistem nilai atau paradigma seorang sainstis.

Sains modern atau sains Barat terbentuk dari paradigma sekuler. Ilmuan Barat modern membangun dan mengembangkan sebuah filsafat sains dengan keyakinan dasar bahwa sesuatu itu terwujud dari sesuatu yang lainnya – yang berarti tidak ada campur tangan Tuhan dalam proses pewujudan tersebut. Alam dilihat dari sebuah perpektif bahwa segala sesautu itu bekembang, maju dan berevolusi dengan sendirinya, tidak diciptakan. Paradima sekuler ini menolak realita keberadaan Tuhan sebagai pihak yang ikut mencampuri proses perkembangan dan kemajuan alam. Pendekatan yang digunakan adalah rasionalisme filosofis dan empirisisme. Yakni pengetahuannya bersandar pada akal murni tanpa bantuan pengalaman atau persepsi inderawi dan seluruh ilmu adalah fakta yang dapat diamati, logis dan dapat dianalisis bahasa. Menolak otoritas wahyu dan agama sebagai sumber ilmu pengetahuan yang benar[32]. Keyakinan dasar ini secara diametral bertolak belakang dengan tradisi sains Islam.

Sains Islami tidaklah lahir dari kecuali dari ilmuan yang berpandangan hidup Islam, atau ilmuan yang beradab. Gagasan ta’dib al-Attas adalah ingin mencetak ilmuan yang beradab. Manusia beradab sebagaimana diterangkan di atas adalah manusia yang menerapkan adab dalam setiap asepk. Adab terhadap Tuhan, diri sendiri, lingkungan sosial, hubungan antar sesama manusia, bahasa, alam, dan ilmu[33]. Adab kepada ilmu, akan berpengaruh besar terhadapa adab kepada objek-objek yang lainnya. Menurut al-Attas intelektual yang beradab kepada ilmu akan mengenal dan mengakui bahwa seorang berilmu kedudukannya lebih luhur dan mulia dan ilmu-ilmu fardlu ‘ain dan syari’ah harus dikuasai terlebih dahulu sebelum ilmu-ilmu yang lainnya. Adab seperti ini akan menghasilkan metode yang tepat dalam memeperoleh ilmu, serta menerapakan sains dalam pelbagai bidang dengan benar[34].

Ilmu yang benar diperoleh dengan cara yang benar hendaknya digunakan secara tepat. Penerapan yang tepat ini akan berimplikasi positif terhadap perlakuan ilmuan terhadap dirinya, lingkungan sosial, hubungan antar sesama manusia, dan kepada Tuhannya, atau terhadapa aspek-aspek lainnya. Di sinilah peran ilmuan yang beradab sangat diperlukan. Ilmuan beradab diibaratkan seorang dokter yang ahli dalam mengidentifikasi penyakit.

Dengan bekal dasar worldview Islam serta penguasan komprehensif terhadap konsep-konsep dasar Islam, ilmuan beradab dengan mudah mendeteksi problem yang menghinggapi sebuah ilmu. Seoarang ilmuan muslim beradab mengajarkan dan mempelajari ilmu secara benar dan proporsional. Seorang guru Biologi yang yang beradab memiliki daya nalar kritis yang benar ketika menyampaikan materi teori Darwin kepada siswanya. Bahwa, teori tersebut tidak dibentuk atas dasar keimanan kepada Tuhan. Sehingga dalam temuan teorinya, peran Tuhan ‘dipensiunkan’ yang berarti bertolak belakang dengan nas-nas al-Qur’an. Atau dalam studi al-Qur’an, ilmuan beradab, pasti akan menolak penyamaan hermeneutika dan ta’wil. Karena secara konseptual dan asas terbentuknya teori tersebut sama sekali jauh berbeda. Penyaamaan ta’wil dan tafsir dengan hermeneutika berarti menyamakan teks al-Qur’an dengan teks-teks manusiawi biasa yang tidak memiliki nilai kesucian.

Karena jiwa ilmuan terselimuti oleh adab dan konsep-konsep dasar Islam, maka dalam tradisi ilmu pengetahuan Islam tidak akan ditemuakan penyalahgunaan ilmu untuk tujuan pragmatis, materialis atau tujuan-tujuan lain untuk memuaskan nafsu manusia. Sebab, dalam tradisi Islam, semua ilmu baik ilmu syari’at atau ilmu-ilmu alam dipelajari dalam rangka pengabdian yang tinggi kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan meraih kebahagian sejati. Temuan nuklir contohnya tidak akan digunakan memusnahkan bangsa lain untuk tujuan perluasan daerah kekuasaan. Seorang ahli kedokteran Islam juga tidak akan menggunakan cara-cara haram atau pengobatan yang merugikan.

Penutup dan Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep ta’dib sebagai konsep pendidikan Islam yang digagas Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah perangkat dasar dalam proyek Islamisasi Ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu yang diproyekkan al-Attas adalah pengislaman ilmu-ilmu yang dianggap sekuler. Proyek ini hanya bisa dilakukan oleh ilmuan-ilmuan muslim yang berpandangan hidup Islam dan memiliki dasar-dasar keilmuan Islam yang kuat. Sebab, yang diislamkan dalam proyek ini adalah basis filosofis, yang merupakan elemen dasar sebuah ilmu. Yakni mengeluarkan penafsiran ilmu dari ideologi, makna dan ungkapan sekuler. Konsep ta’dib al-Attas dalam rangka untuk mencapai tujuan tersebut.

Maka, gagasan al-Attas tentang konsep ta’dib di dunia kontemporer saat ini adalah suatu hal yang perlu disambut positif. Sebab, dunia pendidikan Islam kita belum menemukan bentuk yang ideal untuk mencetak generasi ilmuan muslim unggul yang bisa berbuat banyak dalam kancah dunia. Apalagi, ilmu-ilmu yang terwesternized menjadi konsumsi publik dunia perlu diislamkan demi menegakkan peradaban Islam yang bermartabat. Dunia pendidikan Islam, sudah saatnya mengkonsentrasikan diri untuk membentuk manusia-manusia yang beradab. Itu hanya bisa dilakukan jika dunia pendidikan mengajarkan ilmu yang benar secara integratif.

Gagasan al-Attas tersebut merupakan ide besar yang perlu dikembangkan secara lebih luas lagi. Perwujudan ide al-Attas lebih difokuskan dalam dunia perguruan tinggi dengan mendirikan ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), adalah satu usaha. Konsep ta’dib al-Attas memprioritaskan pada pendidikan tinggi. Oleh karena itu, ada baiknya upaya pengembangan gagasan tersebut menurut penulis perlu dikembangkan lagi dengan memperlebar fokus, yakni menciptakan formula konsep ta’dib untuk tingkat pendidikan dasar atau menengah. Sebab, akan lebih baik bila penerapan pendidikan berpandangan hidup Islam itu diterapkan sejak sebelum perguruan tinggi. Hal itu bisa dilakukan dengan penguasaan konsep-konsep dasar Islam yang kemudian diintegrasikan ke dalam tiap mata pelajaran sekolah. Wallahu A’lam bisshowab.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Hamid Muhammad bin Muhamma al-Thusi al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Mujallad I,(Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah)

Alparslan Acikgenc, Islam Science Towards a Devinition (Kuala Lumpur: ISTAC: 1996)

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif, 2005)

Armahdedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami, Revolusi Integralisme Islam (Bandung: Mizan, 2004)

Hasyim Asy’ari, Adabu al-Alim wa al-Muta’allim (Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H)

Ibnu Mandzur, Lisanul Arab (Beirut: Dar Shadir, tanpa tahun)

Ibrahim Mustofa (dkk), al-Mu’jam al-WasithI bab adab (Istanbul: al-Maktaba al-Islamiyah, 1380 H/1960 M)

Kemas Badaruddin,Filsafat Pendidikan, Analisis Pemikiran Syed M.N. Al-Attas (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009)

Syarif al-Jurjani, Kitab Ta’rifaat (Beirut: Maktabah Lubnaniyah, 1995)

Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the Future (London-New York: Mansell Publishing Limited, 1985)

____________________________, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993)

____________________________, Islam dan Filsafat Sains (terj) (Bandung: Mizan,1995)

____________________________, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Kerangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam (terj) (Bandung: Mizan,1987)

_________________________, Risalah Untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC,2001)

_________________________,Prolegomena to the Metafhysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview Islam (Kuala Lumpur:ISTAC, 1995)

Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains (terj),(Bandung: Rosdakarya, 2005 cet kelima)

Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed M.N. al-Attas (terj) (Bandung: Mizan,2003)

Islam and Science, Journal of Islamic Perspektif on Science Vol. I December 2003 No. 2

Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA Thn I No 6, Juli-September 2005

CD Programme Maushu’ al-Hadis al-Syarif

http://id.wikipedia.org/wiki/Dualisme

[1]Mahasiswa Pascasarjana Istitut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo

[2]Pendidikan Integratif adalah pendidikan yang tidak berdasarkan kepada metode dikotomis yang membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum. Al-Attas sepakat dengan al-Ghazali yang membagi ilmu secara hirarkies, yaitu ilmu fardlu ‘ain (ilmu tentang rukun iman, rukun Islam, perbuatan haram, dan ilmu yang berkaitan dengan amal yang akan dilakukan), dan ilmu fardlu kifayah, yang termasuk di dalamnya ilmu syariah dan ilmu non-syariah atau umum). Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Kerangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam (terj) (Bandung: Mizan,1987), p. 90

[3]Lihat Ibnu Mandzur,Lisan al-‘Arabiy bab adab dan Ibrahim Mustofa (dkk), al-Mu’jam al-WasithI bab adab (Istanbul: al-Maktaba al-Islamiyah, 1380 H/1960 M)

[4]Kemas Badaruddin,Filsafat Pendidikan, Analisis Pemikiran Syed M.N. Al-Attas (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009), p. 59

[5]Syarif al-Jurjani, Kitab Ta’rifaat (Beirut: Maktabah Lubnaniyah, 1995), p. 10

[6]Istilah ta’dib juga telah dipakai tokoh sufi sebagai sebuah istilah untuk pendidikan pengembangan pribadi, akal dan moral. Lihat Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA Thn I No 6, Juli-September 2005

[7]Dalam hadis Rasulullah SAW memakai kata addaba yang bermakna mendidik. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda: Addabaniy Rabbiy fa ahsana ta’dibiy (HR. As-Sam'ani).

[8]Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib. al-Attas (terj) (Bandung: Mizan,2003), p. 177

[9]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC,2001), p. 47

[10] Hasyim Asy’ari, Adabu al-Alim wa al-Muta’allim (Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H), p. 11.

[11] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas (terj), p. 174

[12] QS. Al-A’raf: 172

[13]Filsafat sains al-Attas secara sistematis berdasarkan pada ilmu tasawwuf dimana semua aktifitasnya ditujukan untuk pengabdian tinggi kepada Tuhan. Lihat Adi Setia, Special Feature on the Phylosophy of Science of Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Islam and Science Journal of Islamic Perspektif on Science Vol I December 2003 No 2, p. 172

[14] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas (terj), p. 180

[15]Islamic worldview dalam pandangan al-Attas adalah pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang Nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total maka worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yaat al-Islam lil wujud). Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas,Prolegomena to the Metafhysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview Islam (Kuala Lumpur:ISTAC, 1995), p. 2

[16]Dikotomis adalah pendekatan yang memisahkan objek saling berlawanan, misalnya antara jiwa dan raga tidak ada kaitan. Pendekatan ini disebut juga dualisme pemikiran. Pemikiran filasafat ini dipelopori tokoh-tokoh filasafat Barat seperti Pytagoras, Plato dan Rene Descartes. Lihat Samuel Guttenplan, A Companion to the Philosophy of Mind (Oxford: Blackwell), p. 265-7 dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Dualisme

[17]Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas (terj), p. 186

[18]Baca Syed Muhammad Naquib Al-Attas,Prolegomena to the Metafhysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview Islam (Kuala Lumpur:ISTAC, 1995).

[19] Ibid, p. 42-43

[20]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), p. 41

[21] Ibid, p. 133-135

[22]Syed Muhammad Naquib Al-Attas Prolegomena to the Metafhysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview Islam, p. 114

[23]Pemahaman yang meyakini manusia sebagai hakikat sentral kosmos atau menempatkannnya di titik sentral. Manusia adalah sumber kebenaran. Keyakinan ini sebenarnya adalah haikat relativisme yakni penolakan terhadapa eksistensi suatu hakikat dan kebenaran absolute. Kebenaran itu tersebar di tiap manusia. Akar keyakinan ini dapat dilacak pada pemikiran Protagoras (490-420 SM) seorang tokoh Sophist yang pernah menyatakan: “Manusia adalah satu-satunya standar bagi segala sesuatu”. Lihat Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif, 2005), p. 31

[24]Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), p. 43 dan Prolegomena to the Metafhysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview Islam, p.88

[25]Syed Muhammad Naquib Al-Attas Prolegomena to the Metafhysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview Islam, p. 113 dan 117

[26]Baca Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the Future (London-New York: Mansell Publishing Limited, 1985), p. 127-129

[27]Menurut Thomas S. Kuhn paradigm seorang ilmuan atau sistem keyakinan dasar dalam memandang realita alam menentukan cara mengamati, menyusun pertanyaan-pertanyaan dan hipotesa. Ia mengatakan: Paradigma-paradigma bisa menentukan ilmu pengetahuan yang normal tanpa campur tangan kaidah-kaidah yang ditemukan. Lihat Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains (terj),(Bandung: Rosdakarya, 2005 cet kelima), p.141-144

[28]Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas (terj), p. 186

[29]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the Future, p. 100 lihat juga Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas (terj), p. 198

[30] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains (terj) (Bandung: Mizan,1995), p. 7

[31]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the Future, p.103-104 dan lihat juga Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas (terj), p. 200

[32] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains (terj), p. 27-28

[33]Ibid, p. 178-179

[34]Ibid.

Sabtu, 07 Agustus 2010

Panduan Puasa Romadhon


Hukumnya

Alloh Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al Baqoroh: 183)

Umat Islam telah bersepakat tentang wajibnya puasa Romadhon dan merupakan salah satu rukun Islam yang dapat diketahui dengan pasti merupakan bagian dari agama. Barang siapa yang mengingkari kewajiban puasa Romadhon maka dia kafir, keluar dari Islam.

Keutamaannya

“Orang yang berpuasa di bulan Romadhon karena iman dan mengharap pahala dari Alloh maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman dalam hadits Qudsi, “Setiap amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa. Puasa tersebut adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

“Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Alloh pada hari kiamat daripada bau misk/kasturi. Dan bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, ketika berbuka mereka bergembira dengan bukanya dan ketika bertemu Alloh mereka bergembira karena puasanya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

“Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang disebut Ar-Royyaan. Pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa masuk surga melalui pintu tersebut dan tidak masuk melalui pintu tersebut seorang pun kecuali mereka. Dikatakan kepada mereka, ‘Di mana orang-orang yang berpuasa?’ Maka orang-orang yang berpuasa pun berdiri dan tidak masuk melalui pintu tersebut seorang pun kecuali mereka. Jika mereka sudah masuk, pintu tersebut ditutup dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Kewajiban Berpuasa Romadhon Dengan Melihat Hilal

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasalah karena melihat hilal Romadhon, berhari raya-lah karena melihat hilal Syawwal. Jika hilal tertutupi mendung maka genapkanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” (Muttafaqun ‘alaih. Lafazh Muslim)

Dengan Apa Bulan Romadhon Ditetapkan ?

Bulan Romadhon ditetapkan dengan melihat hilal meskipun dari satu orang yang sholih atau dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Ibnu Umar rodhiallohu ‘anhu berkata, “Banyak orang berusaha melihat hilal. Kemudian aku mengabarkan kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bahwa aku sungguh-sungguh melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa.” (Shohih. Al Irwa’)

Jika hilal tidak dapat dilihat karena mendung atau sejenisnya maka bulan Romadhon ditetapkan dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Untuk awal bulan Syawwal tidak boleh ditetapkan kecuali dengan persaksian dua orang. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika ada 2 orang muslim bersaksi, maka berpuasalah dan berhari raya-lah kalian.” (Shohih. Shahih Ibnu Majah)

Catatan:

Barang siapa yang melihat hilal seorang diri maka tidak boleh berpuasa sampai masyarakat berpuasa, dan tidak boleh berhari raya sampai masyarakat berhari raya. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa adalah hari di mana kalian semua berpuasa. Berhari raya adalah hari di mana kalian semua berhari raya. Dan berkurban adalah hari di mana kalian semua berkurban.” (Shohih. Shahih Al-Jami’ Ash-Shoghir. At Tirmidzi berkata, “Sebagian ahlul ‘ilmi menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, ‘Maknanya bahwa puasa dan hari raya adalah bersama jama’ah [pemerintah kaum muslimin, pent] dan mayoritas manusia [masyarakat, pent].’”)

Siapa yang Diwajibkan Berpuasa ?

Ulama bersepakat bahwa puasa diwajibkan atas orang Islam, berakal, sudah baligh, sehat dan tidak sedang bepergian. Bagi wanita harus tidak dalam keadaan haid dan nifas. (Fiqh Sunnah). Jika ada orang sakit dan musafir tetap berpuasa, maka puasanya sah. Karena bolehnya berbuka bagi keduanya adalah keringanan/rukhshoh, maka jika keduanya tidak mengambil rukhsokh-nya maka itu juga hal yang baik.

Mana yang Lebih Utama, Berbuka atau Berpuasa ?

Jika orang sakit dan musafir tidak menemukan kesulitan untuk berpuasa, maka berpuasa lebih utama. Namun jika keduanya menemukan kesulitan untuk berpuasa, maka berbuka lebih utama.

Abu Sa’id Al-Khudzri rodhiallohu ‘anhu berkata, “Kami dulu berperang bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam di bulan Romadhon. Di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Orang yang berpuasa tidak memarahi orang yang tidak berpuasa begitu pula sebaliknya. Kami berpendapat bahwa barang siapa yang merasa mampu kemudian berpuasa maka hal itu baik. Dan kami juga berpendapat bahwa barang siapa yang merasa lemah kemudian tidak berpuasa maka hal itu juga baik.” (Shohih. Shohih Tirmidzi)

Adapun tentang tidak wajibnya berpuasa bagi wanita yang sedang haid dan nifas adalah karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah jika wanita sedang haid tidak boleh sholat dan berpuasa? Maka itulah kekurangan agamanya.” (HR. Bukhori)

Jika wanita yang sedang haid dan nifas berpuasa, maka puasanya tidak sah. Karena suci dari haid dan nifas termasuk salah satu syarat puasa sehingga wajib bagi keduanya untuk meng-qodho’ puasanya. ‘Aisyah rodhiallohu ‘anha berkata, “Dulu kami mengalami haid di masa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Maka kami diperintahkan untuk meng-qodho’ puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qodho’ sholat.” (Shohih. Shohih Tirmidzi)

Kewajiban Bagi Laki-Laki dan Wanita yang Sudah Tua Serta Orang Sakit yang Tidak Dapat Diharapkan Lagi Kesembuhannya

Bagi yang tidak mampu berpuasa karena sudah tua atau sejenisnya maka boleh untuk berbuka dengan memberi makan bagi orang miskin setiap hari yang dia tidak berpuasa karena firman Alloh Ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqoroh: 184)

Wanita Hamil dan Menyusui

Jika wanita hamil dan menyusui tidak mampu berpuasa atau khawatir terhadap anaknya jika berpuasa, maka boleh bagi keduanya untuk berbuka. Dan wajib bagi keduanya untuk membayar fidyah namun tidak ada kewajiban qodho’ bagi keduanya.

Ukuran Makanan yang Wajib Diberikan

Dari Anas bin Malik rodhiallohu ‘anhu, “Sesungguhnya dia tidak mampu untuk berpuasa Ramadhan pada suatu tahun. Kemudian dia membuat roti dalam satu piring besar dan memanggil 30 orang miskin dan membuat mereka semua kenyang.” (Sanadnya Shohih. Al Irwa’)

Rukun-Rukun Puasa

Pertama, Niat. Karena sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Niat harus dilakukan setiap malam sebelum terbit fajar karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak niat berpuasa sebelum fajar terbit maka puasanya tidak sah’.” (Shohih, Shohih Al-Jami’ Ash-Shoghir)

Kedua, menahan diri dari hal-hal yang membatalkan dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari.

Alloh Ta’ala berfirman,

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Alloh untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al Baqoroh: 187)

Hal-Hal yang Membatalkan Puasa Ada Enam Perkara

Pertama dan Kedua, makan dan minum dengan sengaja. Jika seseorang makan atau minum dalam keadaan lupa maka tidak ada qodho’ baginya dan juga tidak membayar kaffaroh/denda.

Ketiga, muntah dengan sengaja. Jika muntah dengan tidak sengaja maka tidak ada kewajiban qodho’ dan tidak perlu membayar kafaroh.

Keempat dan Kelima, haid dan nifas meskipun menjelang berbuka puasa mengingat adanya kesepakatan ulama tentang hal tersebut.

Keenam, hubungan suami istri. Orang yang melakukannya wajib untuk membayar kaffaroh: Memerdekakan budak jika punya, jika tidak maka berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin. (Muttafaqun ‘alaih)

Adab-Adab Puasa

Dianjurkan bagi orang yang berpuasa untuk memperhatikan adab-adab berikut ini:

Pertama, makan sahur. Dianjurkan pula untuk mengakhirkan makan sahur.

Dari Anas rodhiallohu ‘anhu dari Zaid bin Tsabit rodhiallohu ‘anhu berkata, “Kami makan sahur bersama Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam kemudian melaksanakan sholat.” Aku (Anas) berkata, “Berapa lama antara iqomah dan makan sahur?” Zaid bin Tsabit rodhiallohu ‘anhu berkata, “Jangka waktu untuk membaca Al Quran 50 ayat.” (Muttafaqun ‘alaih)

Jika azan terdengar sedangkan makanan dan minuman masih berada di tangan, maka boleh untuk meneruskan makan dan minum.

Kedua, menahan diri dari kata-kata sia-sia dan kotor/menjijikkan dan sejenisnya yang bertentangan dengan puasa.

Ketiga, dermawan dan mempelajari Al Quran.

Keempat, menyegerakan berbuka puasa.

Kelima, berbuka puasa secara sederhana dengan hal-hal yang disebutkan dalam hadits berikut.

“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berbuka dengan kurma basah sebelum sholat. Jika tidak ada kurma basah maka beliau berbuka dengan kurma kering. Jika tidak ada kurma kering maka beliau minum beberapa teguk air.” (Hasan Shohih. HR. Abu Daud, Tirmidzi)

Keenam, berdoa pada saat berbuka sesuai dengan hadits berikut.

“Apabila Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berbuka beliau berdoa yang artinya, ‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, pahala telah ditetapkan, Insyaa Alloh.’” (Hasan. Shohih Sunan Abu Daud)

Hal-Hal yang Diperbolehkan Ketika Berpuasa

Pertama, mandi untuk menyegarkan badan.

Kedua, berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung namun tidak berlebihan.

Ketiga, berbekam. Hukumnya berubah menjadi makruh jika khawatir dirinya menjadi lemah. Yang dihukumi sama dengan bekam adalah donor darah. Jika orang yang ingin mendonorkan darahnya merasa khawatir menjadi lemas maka tidak boleh mendonorkan darah ketika siang hari kecuali sangat dibutuhkan.

Keempat, mencium dan bercumbu dengan istri bagi yang mampu menahan dirinya.

Kelima, dalam keadaan junub ketika sudah terbit fajar.

Keenam, menyatukan sahur dan berbuka.

Ketujuh, menggosok gigi, memakai minyak wangi, minyak rambut, celak mata, obat tetes mata dan suntik.

Dasar dibolehkannya perkara-perkara tersebut adalah kaidah baroo’ah ashliyyah (seseorang terbebas dari suatu hukum sampai ada dalil, pent) Seandainya perkara-perkara itu termasuk perkara yang diharamkan ketika berpuasa niscaya Alloh dan Rosul-Nya akan menjelaskannya.

Alloh berfirman,

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيّاً

“Dan tidaklah Robb kalian itu lupa.” (QS. Maryam: 64)

I’tikaf

I’tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Romadhon adalah sunnah yang sangat dianjurkan untuk mencari kebaikan dan mencari malam Lailatul Qodar.

‘Aisyah berkata, “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir pada bulan Romadhon. Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Carilah malam Lailatul Qodar di sepuluh hari terakhir bulan Romadhon.’” (HR. Bukhori). ‘Aisyah juga berkata, “Carilah malam Lailatul Qodar pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Romadhon.” (Muttafaq ‘alaih)

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga mendorong dan memotivasi umatnya untuk mencarinya. Abu Huroiroh rodhiallohu ‘anhu berkata, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang melaksanakan sholat pada malam Qodar karena keimanan dan mengharap pahala dari Alloh, maka dosanya yang telah lalu pasti diampuni.” (Muttafaqun ‘alaih)

I’tikaf tidak boleh dilakukan kecuali di dalam masjid karena firman Alloh Ta’ala,

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, pada saat kamu ber-i’tikaf di dalam masjid.” (QS. Al Baqoroh: 187)

Dan juga karena masjid adalah tempat Nabi bert-i’tikaf.

Dianjurkan bagi orang yang beri’tikaf untuk menyibukkan dirinya dengan amal ketaatan kepada Alloh seperti sholat; membaca Al Quran; berzikir, sholawat kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam; dan sebagainya.

Dimakruhkan bagi orang yang beri’tikaf untuk menyibukkan dirinya dengan perkataan atau perbuatan yang tidak ada manfaatnya. Sebagaimana dimakruhkan pula menahan diri dari berbicara karena menyangka bahwa hal tersebut mendekatkan diri kepada Alloh ‘Azza wa Jalla. (Fiqh Sunnah).

Dan diperbolehkan untuk keluar dari tempat beri’tikaf karena ada kebutuhan yang harus dilaksanakan. Sebagaimana diperbolehkan juga untuk menyisir rambut, mencukur rambut kepala, memotong kuku dan membersihkan badan. I’tikaf batal apabila seseorang keluar tanpa ada keperluan atau berhubungan suami istri. Alhamdulillaahilladzii bi ni’matihi tatimmush shoolihaat.

(Diringkas dari kitab Al Wajiiz fii Fiqhi Sunnati wal Kitaabil ‘Aziiz Kitab Shiyaam, karya Syaikh Abdul ‘Azhim Badawi Al Kholafi hafizhohullohu)

***

Penulis: Abu Ibrahim Muhammad Saifuddin Hakim (Alumni Ma’had Ilmi)
Murojaah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Jumat, 06 Agustus 2010

Profil SD IT Logaritma

PROFILE SDIT LOGARITMA KARANGANYAR

Ijin Operasional No. 421/261

VISI

Unggul dalam prestasi akademis, berkepribadian dan peduli terhadap lingkungan

MISI

a. Menanamkan dasar-dasar keIslaman

b. Meningkatkan kemampuan berfikir logis, kritis dan kreatif

c. Memupuk sikap mandiri anak yang berjiwa merdeka, terbuka dan teguh dalam prinsip

d. Meningkatkan kemampuan kecakapan hidup

e. Menumbuhkan kepedulian anak didik terhadap diri, lingkungan alam dan lingkungan sosial.

PROGRAM PENDIDIKAN

  1. Kurikulum yang diterapkan mengintegrasikan antara Kurikulum Dinas, Kurikulum Yayasan dan Kurikulum Muatan Lokal (Mulok).
    1. Materi Khusus : Aqidah Akhlaq, Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam dan Bhs Arab
    2. Muatan Lokal : Bhs Inggris, Bhs Jawa, BTA, Hadits
    3. Ektra : Komputer

Aktifitas Siswa SD IT Logaritma